“Aku mencintai lelaki muda
Yang mungkin mati bunuh diri itu,
Lebih dari segala cinta—yang dimiliki manusia.”
Kesedihan ini bisa dinikmati. Tak ubahnya gerimis yang datang dari subuh hari. Tak pernah aku menyaksikan diriku merapalkan doa di hadapan para pembunuh ataupun merasakan rindu. Tapi kala itu—rampai suara kepergianmu menyisakan patah hati: elegi yang bergema tanpa henti. Lihatlah, kesepian meminangku usai kau tinggali.
Di taman pagi, di ujung kursi, aku mendekapkan wajah pada daun-daun dan barisan diksi. Aku ingin mengenang setiap wajah orang-orang yang tak kukenal sambil berlalu, hingga lipatan-lipatan pada bajuku mulai membentuk sebagian ingatan yang terpotong. Walau sepenuhnya adalah ingatan di waktu kau mati.
Lepas kehilanganmu, luka-luka tak berhenti membelah diri
Nestapa terperangkap dalam jeruji. Kekal
menciptakan kerinduan yang gagal
Kau tahu. Aku tahu. Kita seharusnya lebih dulu
mengucapkan selamat tinggal.
“Sejak aku merapalmu dalam doa-doa dini hari
Peta, mata angin, nama-nama jalan dan
namamu: tidak ada yang kembali
Dan aku ingin mencintaimu
Sekali lagi, sambil membalik tubuhku sendiri: ke arah laut, ke arah maut.”
Jakarta, Maret 2021.
Biodata Penulis
Ananda Aprilia, lahir di Jakarta 13 April 1999, merupakan mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Menulis adalah hobi yang ia lakukan ketika menghilang dari bumi. Beberapa karyanya sudah diterbitkan dalam buku antologi puisi dan cerita pendek. Penulis dapat dijumpai di instagram @anandaprlia dan email anandaapriliaa@gmail.com.