Sepenggal Katamu yang Menembus Zaman - Oleh: M. Arif Abdul Hakim (Peserta LCP 10)
Sepenggal Katamu yang Menembus Zaman
Oleh: M. Arif Abdul Hakim
Aku membungkuk mencabuti rumput, menghempas kerikil dan daun-daun yang hendak
menghalangi jalanmu kemari.
Aku tak malu, meski mungkin ditertawakan secara bisik-bisik atau terang-terangan, oleh
capung-capung yang mengintip dari sela-sela ilalang.
Atau ulat yang mengeliat di dahan pohon jambu air itu.
Atau pohon mangga.
Atau pohon kelapa.
Sungguh, tak mengapa.
Naiklah ke puncak batu di sana dan bacakan puisi yang kautulis untukku kemarin.
Aku akan duduk diam dan mendengarkan.
Akan kutelan seluruh suaramu, sedalam-dalamnya.
Walau suaraku dan suaramu sama: tak merdu dan tak lantang, aku mau kita tetap bernyanyi.
Biarlah angin dan awan yang mengalah dan menutup telinganya.
Namun katamu, kita masih akan bertemu seribu manusia yang mungkin saja kita kasmaran
padanya.
Katamu, belum ada rasa yang tumbuh meski telah kutanami berjuta benih.
Katamu, obrolan kita hanya candaan, seperti dunia yang hanya senda gurau saja.
Katamu, sekolah kita masih lama.
Kita masih harus belajar mengerti hidup: mengerti cara mendiamkan hidup yang menangis,
dan mengerti cara membangunkan hidup yang terlalu lama tidur.
Katamu, kita baru bisa membayangkan kebahagiaan jika bersama, tapi mengabaikan
kenyataan bahwa di rumah kita, amarah dan kecewa juga menumpang tinggal.
Katamu, hidup adalah laut yang selalu punya pasang dan surut.
Katamu...
Katamu...
Apakah sebenarnya dirimu menghendaki kesabaran?
Padaku? Padamu?
Atau pada kita??
Sleman, 14/03/22
11 komentar