Putri dwi utami
Nirmala bunda
Fajar hingga senja.
Aku terpanah olèh wanita renta dipelupuk mata.
Kulit pucat, tak tampak penat keringat membasahinya.
Mata buram bahkan tidak menghentikan langkahnya.
Kaki goyah dikokohkan,teringat anak memanggil namanya.
Begitu renta tapi semangatnya bagaikan singa.
Hari lampau, esok, bahkan berlipat-lipat masa.
Raganya tak pernah merasakan terlelap diranjang purnama.
Siang hari menggali rasa penat hingga senja.
Malam petang menjerat anaknya yang tertidur lelap dalam dekapan cinta.
Mengelus pipi gembur yang jadi perisainya.
Mengumpat maaf hingga tak terdengar telinga.
Ia meraih buliran embun yang tak terkira banyaknya.
Nak.... Jadilah menara, yang kokoh akan derita.
Jadilah merpati, yang setia akan proses suka duka.
Maafkan ibunda menghalangi tawamu dimasa muda.
Maafkan tubuh renta ini yang hanya beralaskan tikar tua.
Ucap bunda menggrogoti pondasi dunia.
Angin malam tak kuasa mendengar harapan besarnya.
Langit petang menahan air mata dan pijar kilatnya.
Tapi semenanjung doa tak hilang dari harapan orang tua.