CAKRAWALA
Karya: Serly Dinka A
“Impian itu seperti fatamorgana.
Terasa dekat, yang sebenarnya jauh untuk digapai.”
°°°
Namanya Cakrawala. Pria dengan paras tampan berkulit sawo matang yang
tengah membasuh peluh di bawah teriknya sang surya. Bersama rekannya, pemuda
delapan belas tahun yang kerap disapa Caka itu nampak berbincang perihal pekerjaan. Tentu
saja dia mau saat rekannya meminta untuk menggantikannya. Lumayan untuk menambah
tabungan di celengan gogoknya. Sebenarnya jam bekerjanya sudah selesai, namun karena
rekannya itu, akhirnya dia kembali melakukan pekerjaannya sebagai tukang kurir. Tanpa
membuang waktu lebih lama, Caka mengendarai sepeda motornya menuju tujuan pertama yang
ternyata tempatnya adalah rumah teman masa SMA Caka dulu. Caka mengetuk pintu
disertai panggilan, hingga keluarlah sosok ibu yang Caka ketahui sebagai ibu dari
temannya.
“Sehat bu?” Caka menyalimi tangan ibu itu, membuat sang ibu terkejut. Caka
tersenyum maklum. “Ini saya Caka bu, temennya Dana.” Saat Caka mengatakan hal itu,
kedua pupil sang ibu membesar menandakan keterkejutan yang mendalam.
“Caka? Murid pintar paralel pertama kan? Kok jadi tukang kurir? Emangnya
nggak lanjut kuliah? ” tanya sang ibu beruntun.
Caka tersenyum tipis, tidak tau harus menjawab apa saat luka setahun yang
lalu kembali diungkit. Rasanya masih sama seperti pertama kali. Sakit, hancur, marah,
namun harus berusaha menerima semuanya dengan ikhlas. Dia tahu suatu saat akan ada
banyak pertanyaan mengenai hal ini yang mungkin terlontar dari banyak orang. Meskipun dia
tahu, tetapi tetap saja rasanya menyakitkan. Title si murid pintar paralel satu seolah hidup
memang harus sesuai peringkat, karena pada kenyataannya hidup adalah soal keberuntungan.
“Belum rejekinya bu.”
“Sayang banget padahal loh, Dana aja yang nggak pernah ikut sepuluh besar
bisa masuk PTN favorit jurusan hukum lagi. Memangnya kamu tidak punya impian?”
Menghela nafasnya pelan, Caka mencoba untuk tersenyum. Berbicara mengenai
mimpi,
Caka rasa mimpi hanya sebatas mimpi sejauh apa pun Caka berusaha untuk
menggapainya.
Caka mempunyai keinginan, namun Tuhan mempunyai kenyataan untuk hidupnya.
Jadi harus sekeras apalagi Caka berjuang?
°°°
Satu tahun yang lalu
Hari dimana pengumuman SNMPTN. Bersama ibunya di serambi teras, Caka terus merapalkan doa demi sebuah harapan bertuliskan kata selamat. Sederhana,
namun nyatanya terlalu sulit untuk diwujudkan. Caka sendiri tidak terlalu berharap,
mengingat pilihannya yang terlalu tinggi untuk sekolahnya yang kecil. Apalagi tidak ada alumni
dan juga piagam prestasi, jadi untuk apa berharap bukan? Namun tidak, sisi terdalam di
hatinya menginginkan jika itu terwujud. Dia tidak ingin menyusahkan kedua orang tuanya jika
dirinya tidak bisa
lolos jalur undangan ini.
“Sebenarnya bapak nggak sanggup biayai kamu kuliah jadi lebih baik kamu
bekerja saja setelah lulus. Namun kalau kamu ambil jurusan pendidikan yang dekat sini
dan bukan di luar kota, iya akan bapak usahakan Caka,” ucap bapaknya sebelum pengumuman.
Tidak seperti yang diucapkan oleh bapaknya, Caka justru mengambil jurusan lain dengan
persaingan terketat di universitas yang berada di luar kota. Karna itu adalah
mimpinya, sebuah mimpi harus diperjuangkan bukan jika ingin menjadi kenyataan?
Tanpa menghiraukan sang ayah, setelah memantapkan diri untuk bisa ikhlas
apa pun hasil yang didapatkan, akhirnya Caka membuka hasil pengumumannya. Saat itu juga,
bahu Caka terkulai lemas karena mendapatkan tulisan merah berkata ‘maaf dan jangan
patah semangat,
masih ada jalur utbk.’
Dalam pelukan ibunya, Caka menangis. Merasa gagal hanya karena tidak lolos.
Ibunya hanya mengatakan tidak apa-apa. Namun dalam hati kecil Caka, dia merasa
sangat bersalah kepada ibunya karena telah mengecewakannya. Apalagi saat pemberitahuan
bahwasannya banyak temannya yang lain lolos SNMPTN. Hati Caka semakin hancur, rasa
marah pun dia
rasakan. Kenapa dia tidak lolos sedangkan anak-anak yang nilainya jauh
lebih rendah dan ekonominya memadai bisa lolos? Rasanya, Caka merasakan ketidakadilan.
Hari berlalu, Caka mencoba fokus persiapan UTBK. Di posisi ini juga, Caka
merasakan kecewa karna tidak bisa mengikuti bimbel seperti orang lain. Caka hanya
bermodalkan kuota untuk menonton pembelajaran di youtube dan juga buku tebal persiapan UTBK.
Semua itu di dapatkannya dari uang bantuan sekolah. Kondisi perekonomian keluarganya
memang sesulit
itu. Jika saja Caka bisa egois, dia ingin ikut bimbel mengabaikan orang
tuanya. Namun Caka tidak tega jika harus menyusahkan kedua orang tuanya hanya untuk bimbel.
Caka juga memikirkan bagaimana jika nanti dia kuliah sesuai impiannya, pasti biaya
yang harus
dikeluarkan juga besar.
Hingga sampailah dimana hari pengumuman SBMPTN atau UTBK. Jantung Caka berdegup kencang kala itu. Ketakutan akan kata gagal kembali
menghampirinya. Impiannya untuk menjadi seorang dokter, terpaksa harus dia kubur dalam-dalam karna
memang nyatanya tidak mungkin dia lakukan bahkan sekalipun dia mendapatkan
beasiswa. Maka dari itu, Caka mencoba untuk mengambil jurusan lain yang masih sesuai minatnya,
berharap jika kali ini dia akan berhasil. Namun lagi-lagi, harapan itu dikecewakan saat
tulisan merah yang
kembali dia dapatkan. Saat itu juga, Caka menangis tersedu-sedu, meratapi
nasibnya yang sungguh mengecewakan. Hidup di keluarga dengan ekonomi yang terbatas lantas
ditolak di perguruan tinggi negeri? Sungguh menyakitkan dan tidak adil bagi Caka si
peringkat pertama. Rasanya seperti semua usaha yang dilakukannya hanyalah sia-sia.
Pepatah yang mengatakan jika ‘usaha tidak akan mengkhianati hasil’ namun kenyataannya
justru berbanding terbalik.
Caka sudah berusaha menjadi yang terbaik, namun takdir seolah tidak
merestuinya menggapai mimpi. Saat itu juga, Caka jadi membandingkan dirinya dengan yang
lain. Caka yang berusaha keras untuk berhasil, dikalahkan oleh seseorang yang suka
mencontekinya saat
SMA. Seseorang yang tidak perlu memikirkan biaya dan juga belajar keras
hanya untuk mendapatkan bangku perkuliahan. Hati Caka sakit seolah dirinya ini
dikhianati. Mimpi Caka yang ingin mengubah nasib keluarga, apa memang harus menjadi angan belaka?
Apa selamanya hidup memang tidak seadil itu? Realita yang tidak sesuai
dengan ekspetasi dan memukul telak mundur bagi siapa saja yang memimpikannya.
Tidak sehebat namanya, hidup Caka justru seperti budak catur. Impiannya
direnggut, hanya melanjutkan hidup dengan penuh pengorbanan. Dengan ini, sang
Cakrawala mengubur mimpinya dengan mengikuti garis takdir yang telah Tuhan tetapkan. Impian
yang kandas karna permasalahan ekonomi.
Setinggi Cakrawala, setinggi itu pula arti dari sebuah mimpi dan juga
impian agar terealisasikan.
-SELESAI-
15 komentar untuk "CAKRAWALA - Karya: Serly Dinka A (LCPC 14 Cerpen)"
realita yg tdk sesuai ekspetasi💀
penulis fav, yuk bisa sherena di wattpad s2🤣