Mau Ikut Lomba Menulis Gratis? Daftar Sekarang!

Impian Terakhir - Kaziah Alvi Namira (LCPC 14 Cerpen)

Admin



Impian Terakhir

Kaziah Alvi Namira

Waktu menunjukkan pukul enam pagi. Sudah saatnya untukku berangkat ke sekolah, menaiki kendaraan umum berwarna merah yang sudah terlihat usang, namun masih dapat dinaiki. Angkutan umum adalah transportasi keseharianku, tak lupa dengan alunan musik yang terdengar dari radio yang selalu menyapa pagiku.

“Kiri ya, Pak.” Aku memberikan uang kertas sebesar tiga ribuan kepada pak supir, tidak lupa mengucapkan terima kasih kepadanya. Seragam putih abu-abu sudah bertengger di tubuhku, dipadukan dengan hijab berwarna putih dan sepatu hitam. Ransel biru juga telah tergendong dalam bahu, menandakan bahwa aku sudah siap memasuki gerbang sekolah.

“Selamat pagi, Pak, Bu,” sapaku kepada bapak dan ibu guru yang berada di depan gerbang sekolah. “Selamat pagi.” Mereka balas menyapaku sambil tersenyum tulus. Aku menaiki tangga satu per satu, memasuki kelas yang berada di lantai tiga. Menyapa teman-temanku yang sedang bersenda gurau.

“Hai, Fika!” Mereka memanggilku dan aku pun langsung menghampiri mereka dengan senang. “Kamu sudah tahu belum? Bu Evi hari ini gak masuk kelas, katanya sih pergi dinas,” ucap teman sejoliku.

“Serius? Sekarang jamkos, dong?” tanyaku. Ia hanya mengangguk bersemangat. “Oh iya, kalian sehabis lulus mau ke mana?” Perbincangan kami akhir-akhir ini memang soal masa depan yang tak berkesudahan. Terlebih lagi, inilah tahun terakhir kami berada dalam dunia sekolah.

“Kalau aku sih kayaknya bantu lbu berjualan, aku capek sekolah,” ucap salah satu temanku. “Aku kayaknya langsung nikah deh, jadi ibu rumah tangga aja,” ucap temanku yang lainnya. “Emang kamu udah punya jodohnya?”

“Ya, dicari toh,” ucapnya ngawur. “Kamu sendiri gimana, Fik?” Aku tersenyum pias, namun tetap kukatakan. “Aku ingin kuliah di luar negeri.” Mereka tertawa bersamaan, seperti tak percaya dengan apa yang kukatakan. “Mimpi tuh yang bener-bener aja, Fik. Kamu kan cuma gadis biasa, bahkan orang tuamu juga tak kaya. Gak usah lah ke luar negeri, mending langsung nikah aja kayak aku.”

Aku memang datang dari keluarga yang biasa saja. Ibuku hanya berjualan makanan ringan di rumah, sedangkan ayahku hanya petugas bengkel yang uangnya tak seberapa. Terlebih lagi, aku juga memiliki dua adik yang masih bersekolah di Sekolah Dasar. Mereka tak salah dalam berbicara, realitanya memang sulit bagiku untuk bercita-cita setinggi itu, namun percayalah, mimpiku bukan kiasan semata.

“Kamu juga gak sepintar itu untuk kuliah di sana, Fik.” Sakit? Iya. Banyak hal yang tak dapat kukatakan, hanya senyuman miris yang dapat aku berikan. Sulit rasanya jika hanya berkata, namun semuanya belum terlihat. Namun percayalah, berbagai informasi seputar perkuliahan dan beasiswa luar negeri, telah kucari dan sedang kucicil saat ini. Informasi tersebut aku peroleh dari warnet yang berada di dekat rumah.

Diremehkan memang menyakitkan, naif kalau tak terluka. Perasaan tak dapat dibohongi, rasanya aku ingin menangis sekarang juga. Tak masalah jika mereka hanya mengataiku, namun masalahnya adalah mereka meremehkan keluargaku. Apakah harus kaya terlebih dahulu baru bisa bermimpi tinggi? Bukannya orang tinggi berawal dari bawah?

Singkat cerita, hari ini adalah hari di mana pengumuman hasil pendaftaran ditentukan. Mata lelahku dikarenakan tak tidur seharian akibat melakukan tes terlihat jelas. Layar komputer tepat berada di hadapanku, lima menit lagi, pengumuman tes terlihat. Tak bisa dipungkiri jika aku benar-benar takut, takut jika yang mereka katakan memang benar. Benar memang aku tak layak diterima.

Namun sayangnya, mereka benar. Aku gagal di universitas yang pertama. Mata lelahku semakin jelas terlihat, tangisan tertahan meredupkan seisi ruangan. “lt’s okey, ini baru yang pertama.” Memang masih ada dua universitas lagi yang menungguku. Entah untuk kegagalan atau keberhasilan. Jujur, rasa sesak dan tak ingin berusaha sudah tertanam dalam jiwaku. Kata-kata mereka seperti terngiang-ngiang di kepala. Apakah aku bisa?

Seminggu kemudian, seharusnya ini yang terakhir. Di mana aku mendapatkan pengumuman kedua dari hasil tes yang sudah kulakukan dua hari yang lalu. Kali ini, aku benar-benar tak berharap hasil yang kuinginkan, jika mungkin tak diterima, mungkin memang jalan Tuhan yang tak merestuiku untuk pergi sejauh itu.

“Bismillah!”

Congratulations! For Fika Lestari. You are declared passed and accepted at Pierre and Marie Curie University at Computer Engineering Program.

Seakan dunia berhenti sejenak, aku tak hentinya mengucapkan Alhamdulillah seraya memejamkan mata dengan kedua tangan. Aku diterima di salah satu universitas yang berada di Prancis, sekaligus mendapatkan beasiswa di sana. Aku juga berhasil mendapatkan jurusan yang kuinginkan, yaitu llmu Komputer.

Hal yang aku lakukan rasanya tidak sia-sia, hampir setiap hari memiliki waktu tidur yang berantakan karena belajar dan mencari informasi melalui komputer warnet. Bahkan terkadang, penjaga warnet membiarkanku masuk di malam hari untuk mencari informasi. Ia merupakan salah satu saksi bagaimana aku berjuang. “Congratss, Fika,” ucap penjaga warnet terharu.

Langsung saja kuberitahukan kedua orang tuaku, bagaimana hasil perjuanganku menempuh pendidikan tinggi yang kata orang tak dapat kulakukan.

So, i want to tell you something. “Not about you smart or not, but about you learn or not.” If you believe yourself and doing what do you want. Inshaallah, that’s become true. FIGHTING!

Posting Komentar

Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.