Mau Ikut Lomba Menulis Gratis? Daftar Sekarang!

Sebuah Asa - Oleh : Meli Rahmawati (LCPC 14 Cerpen)

Admin


Sebuah Asa

Oleh : Meli Rahmawati

Saat masih kecil, Ara sering sekali diberi pertanyaan yang sama oleh Ayah.

"Ara mau jadi apa nanti?"

"Ara mau jadi apa nanti?"

"Ara mau jadi apa nanti?"

Ara juga selalu memberikan jawaban yang sama. "Belum tahu."

Saat itu Ara masih terlalu kecil, jadi dia pikir ketidaktahuannya adalah hal wajar. Tapi seiring berjalannya waktu, sampai sekarang Ara berusia 17 tahun dan duduk di bangku SMA, dia masih belum menemukan tentang apa cita-citanya.

"Aku mau jadi orang." Cinta memberikan jawaban saat Ara bertanya tentang cita-citanya.

"Emang selama ini kamu monyet, Cin?" Hana menyahut. Ara ingin tertawa, tapi dia sedang tidak dalam keadaan baik untuk tertawa. Jadi dia hanya menghela napas. "Kamu sendiri mau jadi apa, Ra?"

"Aku?"Pertanyaannya memang sederhana, tapi kenapa menjawabnya sulit sekali? Ara menggeleng. "Aku gak tau."

"Gak apa-apa, Ra. Semua perlu proses." Hana menenangkan.

Ara pikir 17 tahun sudah lebih dari sebuah proses. "Kamu sendiri mau jadi apa, Han?"

"Aku mau jadi pengacara," jawab Hana.

Ara ber 'wah' takjub. Hana memiliki keyakinan kuat akan cita-citanya. Pantas saja gadis itu sangat menyukai pelajaran PPKN. Seringkali ketahuan membaca dan menghafal pasal-pasal.

"Gimana kalau kamu jadi penyanyi saja, Ra?" Cinta memberi usul. "Suara kamu kan bagus."

Ara terdiam. Cinta benar, sedikit. Suaranya memang lebih bagus dari suara Tria—gadis yang suka bernyanyi di kelasnya—tapi tetap saja, menjadi penyanyi tidak cukup hanya karena punya suara bagus.

"Polwan, mungkin?"

Ara tidak cukup pintar untuk jadi polwan. Bahasa Inggris-nya jelek. Mana dia kurus dan pendek. Kaki dan tangannya juga tidak mulus.

"Artis?"

Sebelas dua belas dengan penyanyi.

"Dokter?"

Itu adalah cita-cita Ara saat kecil. Tapi menjadi dokter terlalu beresiko. Terlebih untuk orang ceroboh seperti Ara.

"Pengacara?"

Ara tidak pandai berbicara di depan umum.

"Guru?"

Ara tidak punya kesabaran lebih untuk mengajar anak-anak.

"Ara." Hana memanggil. Ara terhenyak hingga sadar dari lamunannya. "Jangan memikirkan kekurangan untuk bermimpi. Kalau kamu terus memikirkannya, kamu tidak akan pernah bisa bermimpi. Karena manusia pasti selalu ada kurangnya."

••••

"Assalamualaikum, Ayah."

"Waalaikumusalam."

Ayah sedang duduk di ruang tamu saat Ara pulang. Dia segera meraih tangan Ayah dan mencium punggung tangannya dengan takzim. "Tumben Ayah udah ada di rumah."

"Ayah kecapean, Ra."

Ara mencelus, ada perasaan aneh muncul di hatinya. "Aku pijitin, ya?"

"Makan dulu."

Ara bergeming, "Ayah masak?"

"Ayah beli nasi bungkus di warung depan," kata Ayah. Beliau kemudian berbaring di sofa. "Kamu makan dulu. Terus belajar."

Tapi—

"Kamu harus jadi orang sukses biar gak kaya Ayah, Ra." Ayah bicara di tengah-tengah niatnya untuk terlelap.

••••

Semenjak Ibu meninggal, Ayah jadi kelihatan lebih lelah sepanjang hari. Sebenarnya Ara tidak tega. Niatan untuk membantu Ayah di kebun sempat dia ucapkan. Tapi Ayah menolak dengan tegas.

"Tugas anak Ayah cukup belajar. Kamu harus jadi orang sukses." Begitu katanya.

Beban di pundak Ara terasa sangat berat. Ara tahu tidak seberat beban Ayah. Tapi rasanya sangat tidak mudah saat kamu menjadi harapan satu-satunya keluarga. Karena jika gagal, bukan hanya kamu yang merasa sakit dan hancur, tapi juga orang-orang yang berharap besar kepadamu.

"Ara ada niatan buat kuliah nanti?"

Ara nyaris tersedak ludahnya sendiri. Dia meminum air yang Ayah berikan sampai tandas sebelum menjawab. "Kayanya enggak."

"Kenapa enggak?"

"Gak papa."

"Terus rencana kamu mau ngapain setelah lulus?"

Ara terdiam cukup lama. Dia tidak tahu harus memberikan jawaban apa. "Kerja?"

"Kamu harus sekolah tinggi-tinggi, Ra," kata Ayah. "Kalau kamu khawatir soal biaya, Ayah masih sanggup buat cari uang."

Bukan itu.

Tapi, Ara merasa percuma. Sebab sampai sekarang dia tidak tahu harus melangkah ke mana untuk mencapai kesuksesan seperti yang Ayah harapkan.

"Ara mau jadi apa nanti?"

Degh!

Ara mencelus.

"Gak perlu jadi orang yang langsung melambung tinggi. Kamu cukup jadi orang yang mampu menghidupi diri kamu sendiri. Jadi kalau Ayah sudah tidak—"

Ara tidak mau mendengar kelanjutannya lagi. "Iya, Yah. Doain, ya?"

"Pasti."

••••

Andrea Hirata bilang, "Bermimpilah dalam hidup, jangan hidup dalam mimpi." Sementara Bong Chandra bilang, "Tidak ada mimpi yang terlalu tinggi untuk dicapai, yang ada hanya niat yang terlalu rendah untuk melangkah."

Kemudian kasus yang Ara rasakan ini apa?

Dia tidak punya mimpi. Dia tidak punya harapan.

Tunggu.

Aristoteles bilang, mimpi adalah harapan dari seorang yang terjaga. Ara pernah mengalami itu. Dia pernah sangat berharap bisa kembali bertemu Ibu. Tapi apa itu juga bisa dibilang sebuah mimpi?

"Ara!"

Ara terhenyak.

"Kamu ngapain ngelamun terus?" Hana memberikan sepotong roti kepada Ara. Yang langsung gadis itu terima. "Masih tentang mimpi?"

"Aku ngerasa gagal."

"Gagal?"

"Aku gak punya harapan. Aku gak punya mimpi."

Hana menarik nafas dalam sebelum menghembuskannya perlahan. "Kamu punya mimpi, Ra. Cuma kamu belum sepenuhnya percaya akan mimpi itu."

"Apa maksud kamu?"

"Sekarang aku tanya, kamu suka apa?"

Ara berfikir sejenak, "Aku suka banyak hal."

"Sebutin."

"Menulis, menyanyi, memasak ...?"

"Itu bisa jadi mimpi kamu," ujar Hana penuh semangat. "Kamu bisa jadi seorang penyanyi, penulis, pengusaha kuliner dan lain-lain."

"Ta—"

"Gak ada mimpi yang terlalu tinggi, cuma rasa percaya diri kamu aja yang rendah, Ra."

Hana benar. Gadis itu selalu benar. Pengacara adalah cita-cita yang cocok untuk seorang Hana Rafian.

Ara sudah memutuskan. Dia akan mengejar mimpinya mulai sekarang.

••••

"Ayah!"

Ara membawakan bekal makan siang untuk Ayah ke kebun. Matahari benar-benar terik. Ara tersenyum saat Ayah yang sedang mencangkul melambaikan tangan. Lalu berjalan mendekat ke gubuk yang sudah lebih dulu Ara tempati.

"Tumben kamu ke sini, Ra."

Itu terdengar seperti Ara adalah anak tidak tahu diri. "Maaf ya, Yah."

Ayah tidak menjawab.

"Ayah," panggil Ara. "Ara sudah punya mimpi."

Ayah berhenti menyuap nasi ke mulutnya, beliau menatap Ara lekat. "Mimpi?"

"Ara mau membahagiakan Ayah."

Hening.

Ayah kemudian tersenyum manis. "Ayah sudah bahagia, Ra."

"Belum," kata Ara. "Ara mau Ayah berhenti kerja. Ara gak mau Ayah lelah. Biar Ara yang kerja buat Ayah."

Ayah tidak menjawab. Tapi matanya terlihat berkaca-kaca.

"Ayah bilang, Ara harus jadi orang sukses, kan? Sukses buat Ara adalah kebahagiaan Ayah dan orang-orang sekitar Ara. Jadi, Ara mohon doanya ya, Ayah."

••••

"Sejak kapan kamu nulis buku ini, Ra?"

Ara terhenyak saat suara Cinta yang melengking memasuki telinganya. "Buku apa?"

"Ini?"

Kisah Perjuangan Ibu.

Itu cerita pertama yang iseng Ara tulis di media sosial. Awalnya hanya sebagai wadah kerinduannya kepada Almarhumah Ibunya. Siapa yang menyangka cerita itu menarik seorang penerbit.

"Udah lama," jawab Ara santai.

Hana mendekat sementara Cinta sibuk mengomel. "Jadi kamu udah nentuin mimpi kamu, Ra?"

Ara mengangguk. "Berkat kamu, Hana."

Hana tersenyum manis.

Itu bagus. "Jadi ... kamu mau jadi apa, Ra?"

Ara tersenyum misterius. Pertanyaan Hana akan dia jawab setelah semuanya terwujud. Itu akan lebih menakjubkan.

"Ara! Kamu gila?!"

Itu dia.

"Ini Ara Indriyani beneran? Kamu?"

Ara mengangkat bahu, pura-pura tidak tahu. Sementara layar ponsel Cinta sedang menayangkan sebuah Q&A para pemain film dengan Ara di dalamnya.

"Jadi kamu mau jadi penulis?" Hana bertanya.

"Aku mau jadi semua yang aku bisa," sahut Ara. "Penulis, pemain film, produser, penyanyi, dan orang yang memberi inspirasi."

"Publik figur?"

Ara mengangguk. Hana memberikan dua jempolnya.

Mimpi adalah saat kamu berani memulai dengan hal kecil. Nyatanya, Ara adalah gadis tanpa mimpi yang kemudian berani memulai. Dan tentu saja, berani untuk gagal sebelum keberhasilan.

Posting Komentar

Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.