Mau Ikut Lomba Menulis Gratis? Daftar Sekarang!

Seperempat Cita-cita dan Realita - Oleh : Musfirah HR. (LCPC 14 Cerpen)

Admin



Seperempat Cita-cita dan Realita

Oleh : Musfirah HR.


Pagi-pagi sekali Mama mengomel di depan kamarku sambil menggedor beberapa kali. Tadinya kukira dia sedang kehilangan barang penting atau apalah yang membuat dia menggerutu. Namun rupanya ada yang lebih parah dari hanya sekadar barang penting yang hilang, yaitu kabar tentang debut band-ku di sekolah sudah didengarnya. Aduh, aku sedikit kerepotan jika Mama tahu.

Oh iya, aku Fahmi seorang vokalis band di sekolah. Impianku adalah menjadi penyanyi terkenal. Tapi Mamaku sang pemegang otoritas tertinggi di dalam keluarga tidak memberiku izin untuk menjadi penyanyi. Terlahir dari keluarga terpandang dengan prestasi akademik kedokteran yang sangat menakjubkan, membuatku tidak merasa bangga. Minat dan bakatku ada pada musik bukan kedokteran. Mama bilang aku harus menjadi dokter seperti kedua kakakku, dirinya, dan Papa. Jika tidak maka aku akan dianggap pembangkang.

“Apa kata keluarga besar kita nanti kalau kamu jadi penyanyi, hah?” bentak Mama saat kubuka pintu kamar.

Aku diam, tak bisa merespons Mama. Karena aku tahu, jika direspons malah akan mendapat bentakan baru. Jadi, ya, sudahlah biarkan Mama meluapkan semuanya.

“Mana gitar kamu, sini Mama jual!”

Aku terkejut saat Mama mengatakan hal itu. “Jangan, Ma!”

Karena tak kuindahkan kehendaknya Mama menerobos masuk ke dalam kamar untuk mencari keberadaan gitarku dan membawanya pergi. Aku menghela napas. Lagi-lagi aku tak berdaya melawan Mama demi keinginanku.

Kupikir mengikuti keinginannya untuk masuk ke jurusan IPA yang akan selinear dengan kedokteran akan membuatnya luluh dan memberiku izin menjadi penyanyi. Rupanya, Mama tidak menghendaki sama sekali profesi kesukaanku itu. Apa yang harus kulakukan?

Mengikuti keinginan Mama untuk menjadi dokter?

Kedua kakakku bilang, apapun yang menajdi keinginan Mama maka lakukanlah.

Sebab Mama tahu yang terbaik untuk anak-anaknya. Tapi benakku menolak hal itu. Apakah yang terbaik menurut Mama adalah yang menyiksa batinku? Apa yang terbaik adalah yang dilakukan dengan terpaksa? Saat aku mengadu kepada Papa, sama saja. Papa bilang, seluruh keluarga kami adalah dokter jangan sekali-kali bermimpi untuk keluar jalur karena hal itu akan membuat nama baik keluarga kami tercoreng di depan mata keluarga besar. Ya ampun, bagian ini yang paling kubenci. Orang tuaku hanya memperhitungkan pandangan orang lain terhadap keluarga kami tanpa mempertimbangkan kebahagiaanku.

Karena tak ada restu untuk menjadi penyanyi apa boleh buat, aku menuruti semua keinginan Mama. Masuk ke Universitas terkenal dan mengambil jurusan kedokteran. Selama 4 tahun aku menanggung ketersiksaan ditambah dua tahun praktik.

Selama hampir enam tahun menjalani pendidikan kedokteran aku merasa tidak bahagia sama sekali. Sampai hari ini yang kuinginkan adalah menguasai panggung dan hadir di berbagai acara Music Tour.

Sampai pada saat salah seorang member band-ku waktu sekolah menemui, perasaanku benar-benar hancur. Untung saja Hanan datang dan memberi kabar gembira bahwa dirinya lolos audisi pencarian bakat di bidang musik yang diadakan komposer ternama. Jujur, aku sangat iri mendengarnya. Komposer yang kuincar selama ini malah bukan aku yang mendapatkan kontraknya. Tapi, medengar teman se-band-ku dulu berhasil aku jadi turut bahagia mendengarnya.

Hanan bilang kapanpun aku ingin kembali maka dia dan dua teman kami yang lain menerima dengan tangan terbuka. Bagaimanapun juga dulu aku adalah vokalis mereka. Yang membuat band kami debut di sekolah dan yang selalu paling di cari saat event-event diadakan untuk sesi hiburan.

Aku pernah membayangkan tahun-tahun yang akan kulewati setelah lulus SMA adalah mengisi berbagai panggung di penjuru negeri. Menikmati alunan musik yang kunyanyikan bersama band-ku. Menghibur ribuan penonton yang datang menyaksikan. Juga menciptakan karya-karya terbaru melalui musik.

Melamunkan semua itu membuatku lupa jika saat ini aku sedang memeriksa pasien dengan diagnosa radang tenggorokan pada pita suara atau disebut juga laringitis. Dokter yang memeriksanya bilang setelah pemeriksaan biopsi, anak gadis yang kuperkirakan berumur 18 tahun ini terkena laringitis karena terlalu sering bernyanyi dan diharapkan harus beristirahat dari aktivitasnya. Aku kasihan mendengarnya. Nasibnya hampir sama denganku yang harus berhenti bernyanyi, bedanya dia masih bisa mengejar impian itu setelah sembuh.

“Kamu suka nyanyi, dek?” tanyaku padanya.

“Suka banget, dokter,” jawabnya tersenyum.

“Lagu kesukaan kamu apa?”

“Langit Favoritku, Teddy Adhitya.”

Aku tersenyum mendengar jawabannya. Bisa kurasakan betapa bahagianya gadis ini.

Sama sepertiku dulu. Saat berada di atas panggung dan mengeluarkan semua energi melalui melodi lalu merasakan bagaimana orang-orang terhibur dengan suaraku, itu sangat menyenangkan.

“Mau kunyanyikan?” tawarku. Gadis itu mengangguk bersemangat.

Sore hari yang penuh ketenangan di taman rumah sakit kunyanyikan lagu Langit Favoritku untuk seorang gadis yang merupakan pasienku. Rasanya seperti bernostalgia.

Sudah lama aku tak bernyanyi seperti saat ini. Dengan sepenuh hati dan penuh penghayatan, kunyanyikan lagu itu. Gadis pasienku ini tersenyum dengan mata berbinar cerah. Aku merasa lega. Kutahu dia sedang menikmati lagunya.

“Wah, suara dokter bagus banget,” ucapnya gembiara sambil bertepuk tangan.

“Kamu suka?” tanyaku.

“Suka banget. Dokter bisa nyanyi lagi nggak?”

Aku tertawa mendengarnya. “Mau lagu apa?”

“Payung teduh,” jawabnya mantap.

“Boleh, tapi kita nyanyinya berdua.” Gadis itu mengangguk antusias.

Kami bernyanyi dengan suara yang saling beradu. Suaranya sangat merdu dan terkesan mudah menyesuaikan dengan irama suaraku. Bahkan saat nada yang sulit dia tetap bisa menyesuaikan. Beberapa pasien yang sedang beristirahat di tama itu juga terlihat mendekat saat mendengar nyanyian kami. Mereka berkumpul mengelilingi bangku yang kududuki bersama gadis itu. Kami saling memandang sembari terus bernyanyi sampai akhirnya lagu itu selesai.


“Dokter Fahmi penyanyi, yah?” tanya salah seorang pasien yang ikut mendengar.

Aku hanya tersenyum dengan perasaan sedikit bahagia, mengingat hanya tersisa seperempat dari cita-cita besar itu untuk diwujudkan. Kembali lagi pada realita yang saat ini terjadi. Aku Fahmi, seorang calon dokter umum yang sedang KOAS di salah satu rumah sakit milik keluarga. Ini sangat menyedihkan. Aku rindu bermain gitar dan menyanyikan lagu ciptaanku bersama Hanan dan yang lain. Berkutat dalam ruangan putih bersama jarum suntik dan sebangsanya benar-benar membosankan. Belum lagi saat aku harus lembur. Rasanya aku akan kembali bernyanyi. Aku berjanji, suatu hari nanti.

2 komentar

  1. bisa yuk debut
  2. Keren keren
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.