Mau Ikut Lomba Menulis Gratis? Daftar Sekarang!

Sinar dan Masa Depan - Rahma Salsabila (LCPC 14 Cerpen)

Admin



Sinar dan Masa Depan

Rahma Salsabila


Banyak anak-anak seusiaku yang asik bermain bola dilapangan. Kami tetap bermain seperti biasa meskipun hari sudah semakin senja.

“Ayo kita akhiri dengan penalty.” Sorak Seno dengan semangat.

“Budii.. kau yang nendang ya!!” Teriak Aldi yang berada di tepi lapangan.

“Okee..”

Aku pelan berjalan menuju tempat untuk menendang bola, bersiap menutup pertandingan sore itu dengan penalti.

“Ayo tendang Bud!!” Pekik anggota timku yang bersemangat.

Aku mulai bersiap menendang bola tepat ke arah gawang. Rendi sudah siap berjaga disana untuk menghentikan tendangan. Whuuussss…. Bola melesat begitu cepat dengan sudut yang sempurna. Sayang Rendi dengan cekatan menahan bola itu tepat pada waktunya.

“Tendanganmu mudah dibaca ya..” Sindir Rendi yang sudah menahan bola.

“Tehe.. kamu juga lebih bagus dariku selama ini.”

“Besok lanjut lagi ya sepulang sekolah!!” Pekik yang lain bersamaan

“Okee!!”

Kami bergegas Kembali ke rumah untuk mandi dan bersiap ke mushola untuk sholat maghrib dan belajar ngaji bersama Pak Adam. Pak Adam tak hanya mengajar ngaji, terkadang bercerita tentang kisah para sahabat, kisah perang-perang, hingga cerita para nabi yang selalu kami ingat. Meskipun diulang kami tak akan bosan mendengarkannya.

“Baik.. malam ini bapak akan bercerita tentang kisah Perang Uhud untuk melanjutkan yang kemarin.” Terang Pak Adam yang tidak mengingkari janjinya.

“HOREE!!!” kami bersorak kegirangan dan segera duduk rapi di depan pak Adam.

Beberapa anak lain akhirnya memutuskan duduk rapi di sekitar Pak Adam, bersiap mendengar kelanjutan cerita tentang perang itu dan semua detailnya. Cerita itu akhirnya dimulai dari pasukan pemanah muslim yang keluar dari arahan komandannya. Aku terpana dengan cara pak Adam menceritakan kisah itu pada kami.

“Jadi pasukan muslim kalah besar dong..” Ucap salah satu temanku setelah cerita selesai.

“Benar.. tapi di perang berikutnya mereka menemukan kemenangan Kembali.” Jawab Pak Adam dengan senyumnya.

“Wooooaaaaahhh….”

“Baik.. sebentar lagi adzan Isya jadi sudah waktunya untuk mengambil wudhu.”

“BAAIIKKK!!”

Selesai sholat isya kami bergegas Kembali ke rumah dengan sebatang obor yang meliuk-liuk di terpa angin malam. Aku dan kedua adikku sudah berlarian Kembali ke rumah. Bapak dan Ibu serta kedua kakakku sudah menunggu di ruang makan. Bapak bertanya tentang tugas sekolahku dan beberapa hal lain dengan kedua kakakku. Sementara disisi yang lain ibu meencoba memisahkan kedua adikku yang asik berebut sepotong udang besar.

Aku pelan membuka salah satu buku catatanku. Bu Nila meminta kami menceritakan apa yang akan kami inginkan ketika dewasa nanti. Aku pelan membayangkan betapa kerennya jika menjadi seeorang polisi atau tentara. Memiliki tubuh tinggi, tenaga yang kuat, serta kehebatan lainnya. Aku terus berpikir sampa akhirnya aku menemukan satu hal yang sangat aku inginkan. Aku bergegas menulis semuanya di selembar halaman buku catatan, kemudian merapikannya sesuai jadwal esok hari dan bergegas tidur lebih cepat. Dalam tidurku aku berharap apa yang kuharapkan terjadi.

“Pagi Budi.” Sapa Chika yang sudah berada di depanku.

“Pagi Chika.” Balasku seperti biasanya.

Beberapa teman sekelasku sudah menempati kursi mereka, tak lama lonceng masuk berdentang dan guru memasuki kelas. Bersiap memulai pelajaran.

“Apa kalian sudah mengerjakan tugasnya?” Tanya Bu Nila bersemangat.

“Sudah Buu!!” Jawab teman-teman kompak.

“Bagus.. Siapa yang akan bercerita pertama?” Pancing Bu Nila yang langsung dibalas oleh salah satu teman di kelas.

“Saya Bu!!” Pekik Alan sambal mengangkat tangannya setinggi mungkin.

“Oke Alan.. silahkan dimulai..” Ucap Bu Nila mempersilahkan.

“Aku ingin menjadi Pilot Bu. Karena aku ingin mengelilingi dunia!” Jawab Alan bersemangat dan bangga.

“Luar biasa Alan.. Siapa selanjutnya??” Tanya Bu Nila Antusias.

“Saya bu!! Saya ingin menjadi Dokter, biar bisa mengobati sapi yang sakit!!” Pekik Farel bersemangat.

“Keren sekali Farel..” Balas Bu Nila yang membuat Farel sedikit membanggakan mimpinya.

Semua teman-temanku menyebutkan apa yang mereka inginkan untuk masa depan. Kali ini giliranku yang terakhir.

“Aku ingin menjadi guru yang hebat seperti Ibu. Agar anak-anak kampung bisa belajar dengan baik.” Jawabku dengan percaya diri.

“HAHAHAHAHA!!!!” Tawa teman sekelasku meledak.

Bu Nila hanya menggelengkan kepala melihat aksi anak muridnya, lantas mengetuk papan tulis tiga kali sebagai kode meminta perhatian.

“Semua harapan dan mimpi kalian bagus.. Ibu hanya berharap semoga kalian mencapai semua harapan kalian dan belajar dengan rajin. Siap semuanya???” Tanya Bu Nila pelan.

“SIAAAPP BUUU!!” Jawab kami bersamaan.

Memori itu masih terekam dengan jelas di kepalaku. Kini aku sudah dewasa dan mendapatkan apa yang kuharapkan. Pak Adam pernah bilang padaku satu waktu

“Mimpi dan harapan itu seperti rambut yang tipis jika kamu ambil satu helainya. Untuk mendapatkannya maka gunakanlah cara terbaik agar menghasilkan sesuatu dengan baik dan sempurna.” Ucap Pak Adam pelan.

“Kenapa bisa begitu Pak?” Tanyaku penasaran.

“Tuhan sudah mengatur segalanya semenjak roh kita ditiupkan ke dalam rahim Ibu kita. Kapan kita lahir, rezeki yang diterima, bahkan kapan kita wafat sudah diatur. Tugas kita adalah berjuang mengumpulkan bekal. Apapun yang Budi pilih, mau jadi petani, guru, polisi, tukang reparasi, kuli bangunan, yang penting tak pernah lupa berbuat baik dan meniatkan semua untuk Ibadah agar hidup kita dipenuhi berkah.” Nasihat Pak Adam semalam setelah pengumuman kelulusanku di PTN ternama di Ibukota.

Bu Nila sudah lama berpulang kepangkuan Tuhan, begitu pula dengan Pak Adam. Beberapa temanku yang berhasil meraih harapannya menikmati hidup, sementara sisanya menetap di kampung ini menjadi petani. Aku pelan menatap makam guru kebanggaanku. Ingin rasanya berkata dengan bangga bahwa aku telah mendapatkan harapanku dan melihat senyum manisnya yang merekah.

Wanita di sebelahku pelan menyentuh pundakku. Lantas berbisik bahwa guruku itu pasti akan bangga di alam sana memiliki murid yang selalu mengingatnya dengan baik. Selesai mengunjungi guruku, kami Kembali ke rumah. Dua bocah kecil berusia lima tahun berlari menyambut kami. Kakak dan adikku juga ada disana semua. Kepulangan kami ke desa menjadi bahan pembicaraan orang-orang.

Aku bertemu dengan Wanita itu tepat Ketika pulang dari kelas. Parasnya dan sikapnya membuatku terpana. Meskipun kami beda jurusan dan fakultas, sesekali kami berpapasan di jalan. Setelah lulus Pendidikan S2, Ibu mengenalkanku denga seorang gadis. Betapa terkejutnya aku Ketika tau dia dalah adik tingkatku semasa kuliah dulu. Pada akhir tahun aku memutuskan untuk serius dan fokus pada pekerjaanku yang tentu lebih melelahkan.

“Papa.. Ruri menyebalkan?!?!” Adu putra keduaku Ketika aku pulang.

“Nami juga sama menyebalkannya!?!? Humpph..” Balas Kakaknya yang tidak mau mengalah.

“Kalian masih mengganggu Papa bekerja?!?!” Pekik Lilia yang mengagetkan kedua anakku.

“PAPAAA!!” Pekik Ruri dan Nami bersamaan.

“Sudahlah.. Mereka tak akan mengusikku sayang.” Ucapku pelan sambal mencium pipinya.

“Terserah saja.” Balas Lilia yang bergegas pergi ke dapur dengan muka memerah.

“Ah.. Nami, Ruri, bujuk Mama kalian dengan baik oke…” Pintaku pelan.

“Baik Paa..” Jawab mereka patuh.

Dua bocah kecil itu berlari mencari mamanya di ruangan lain. Aku hanya terkikik melihat kelakuan dua bocah itu. Suara pintu samar terdengar, aku pelan mendongakkan kepala.

“Anak-anak..” Tanyaku ketik Wanita itu Kembali.

“Mereka tidur dengan cepat.” Jawabnya lantas duduk di sebelahku.

“Syukurlah..” Timpalku pelan. Mataku Kembali fokus mengisi formular melalui ipad yang biasa kubawa.

Wanita itu pelan merebahkan kepalanya di atas pahaku. Aku hanya terkikik pelan, aroma lemon yang super asam tercium.

“Kau ini… Dua bocah itu anak kita kenapa kau harus cemburu?” Tanyaku iseng.

“Kepedean.. Aku tidak cemburu dengan mereka sayang.” Jawabnya pelan.

“Lalu?” Tanyaku yang masih penasaran.

“Aku hanya ingin menikmati malam berdua denganmu saja.” Akunya dengan muka memerah.

“Baiklah.. Aku paham maksudmu itu.” Jawabku sambil mengacak rambutnya kasar.

Hingga kini aku masih ingat tentang apa yang ku harapkan dari dulu, mimpi anak-anak yang telah berbuah amat banyak. Aku yakin kalau buah itu masih cukup banyak di pohonnya sana.

“Aku ingin menjadi guru yang hebat seperti Ibu. Agar anak-anak kampung bisa belajar dengan baik.”

Beberapa teman sekelasku kini menetap di desa dan menjadi buruh serabutan dengan pendapatan yang bahkan entah cukup atau tidak untuk sebulan kedepan. Aku dulu tak pernah peduli dengan teman-teman yang menertawaiku ketika dikelas belasan tahun lalu. Anak-anak selalu memiliki kegigihan yang amat menarik, bahkan akan semakin menarik jika kita mampu mengembangkannya.

Mimpi mereka tak terlihat menarik bagi orang dewasa, tapi mereka memiliki mata yang menawa Ketika menemukan sesuatu yang menarik untuk mereka dapatkan suatu hari nanti. Aku hanya tersenyum mengingat betapa kejamnya teman-teman di kelas yang mengejekku Ketika bermain di lapangan maupun di tempat mengaji. Mungkin mimpiku terlalu buruk, tapi garis masa depan yang akhirnya kutemukan tak seburuk yang dikatakan mereka padaku.

Aku memiliki pekerjaan tetap, keluarga kecil yang akan bertambah lagi, dua bocah yang menggemaskan dan tampan, wanita yang amat cantik dan mengerti pekerjaanku, dan banyak hal bahagia lain yang membuatku amat bersyukur telah mengatakannya.

Posting Komentar

Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.