Terjebak Bunga Tidur
Oleh : Putri Rohanti Zulfa
"Indah
banget ya," ucap seorang gadis.
Gadis
berambut ikal pendek dengan pita pink favoritnya, menunjuk dengan
semangat ke arah bintang yang menyala tepat di atas kepalaku.
"Iya
indah sekali," batinku seraya memperhatikan matanya yang berbinar.
Aku
yang sedang melamun, tersenyum menatap wajah cantiknya, hampir gila oleh
pesonanya malam itu. Lagu-lagu cinta telah bermain di telingaku, menambah kesan
romantis pada kencan terakhir kami, walau hanya duduk berdua di kursi taman
yang berada di pusat halaman rumah Viola.
"Gio!"
panggil Viola.
Aku
yang tertangkap basah telah melamunkannya, bertindak bingung bercampur malu.
"Eh,
apa Vi?" sahutku sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Hayo,
lagi ngelamun apa?" goda Viola, ekspresinya semakin menggetarkan
jantungku.
"Hehe,
gak ada kok, Vi," sahutku seraya tersenyum malu.
"Cie,
Gio lagi lihatin Vio ya?" goda Viola terhadapku.
"Eh,
Vio jangan kepedean ya," balasku sambil mencubit hidungnya.
"Ih
Gio, gak usah gengsi deh, siapa tahu ini yang terakhir kalinya Gio lihat Vio,"
rajuknya.
"Vio?
Kenapa ngomong gitu? Vio mau ninggalin Gio?" tanyaku memastikan.
"Masa
depan kan gak ada yang tahu Gio, hehe," balasnya dengan senyum.
"Vio
percaya cinta kan? Sampai kapanpun, Gio gak akan ninggalin Vio, begitu juga
sebaliknya, kita akan selalu bersama selamanya." Sontak Viola memelukku
dan meneteskan air mata.
Seketika
ketukan pintu mengejutkanku, dengan cepat aku mengusap wajahku, Aku berusaha tidak
mengedipkan mata untuk menahan tangis. Kututup tiap lembar buku harian milik
Viola, tampak foto sepasang kekasih yang
tertempel mesra di halaman belakang. Hal itu mengikat napasku hingga sesak,
tanpa sadar pipiku telah basah oleh air mata.
"Andai
waktu dapat berputar, aku ingin kembali ke masa lalu," ucapku sambil mengusap
buku harian mantan kekasihku.
"Selamat
malam, Pak," tegur seorang pegawai yang mendadak masuk.
Pegawai
itu berjalan sembari membawa alat kebersihan, seperti biasa ia akan
membersihkan kamar apartmemenku.
Aku
pun beranjak, melepas jas dan melemparkannya ke atas kursi. Setelah seharian
rapat di kantor, aku berencana keluar untuk mendapatkan udara segar.
***
Dua
tahun berlalu, kenangan bersama Viola masih segar di ingatanku. Tiada lagi
keindahan pada bintang yang kupandang, di saat aku sudah mampu memantaskan diri
untuk wanita pujaan hati, keadaan justru menjauhkanku dari mimpi.
Di
tengah terangnya malam, kutapaki jalan tanpa arah, menatap kosong lampu-lampu
jalan.
"Hei!
Siapa di sana? Bisa tolong saya tidak?!" Teriakan seorang gadis berhasil mengejutkanku.
Aku
pun berbalik, terlihat sosok yang tak jelas wajahnya karena silau lampu dari
mobilnya. Tampak ia melambaikan tangan, aku pun menghampirinya.
Gadis
itu menyingkirkan helai rambut yang menutupi wajahnya. Sungguh terkejutnya aku
saat berpapasan dengan seseorang yang wajahnya persis dengan sang mantan.
"Viola?"
Spontan nama itu keluar dari lisanku.
"Viola?
Maaf, saya Clara," heran gadis itu.
"Bagaimana
bisa wajahnya mirip sekali," batinku.
"Em
... sepertinya kamu salah orang, saya Clara."
Sesak
rasanya ketika mengetahui kenyataan masih unggul dari ribuan angan yang
kulayangkan. Sesaat aku berkedip untuk menyembunyikan mataku yang berlinang.
"Ma-maaf,
ada yang bisa saya bantu?" tanyaku sembari menormalkan akal.
"Oh
iya, saya mau tanya alamat ini," ujar Clara.
Gadis
itu menyerahkan kertas kepadaku, aku pun menerimanya. Lagi dan lagi aku
dikagetkan dengan alamat yang ia tunjukkan.
"Alamat
ini--"
"Kamu
tahu? Itu alamat ibu saya," balasnya.
"Ibu?"
"Iya,
ibu saya, kata nenek saya, ibu saya tinggal di daerah sini."
"Hei!
Hallo?" panggilnya memecahkan lamunanku.
"Ah,
i-iya saya bisa antarkan," ucapku.
Bersikeras
aku menyingkirkan ribuan pertanyaan, tanpa menunggu lama, aku pun memasuki
mobilnya untuk menunjukkan jalan.
Setelah
tiba, aku memandang rumah yang tak asing di ingatanku. Viola, ya, rumah itu
adalah rumah mantan kekasihku. Dengan ragu, aku pun mendekati pintu.
"Biar aku saja," ucap Clara
sembari menekan bel.
Tak lama kemudian, wanita paruh baya
membukakan pintu. Aku hanya mematung melihat sosok ibu mertua ... mantan calon
ibu mertua maksudku.
"Cintaku,
selamat datang, berikan tubuhmu ... aku rindu," ujar Bu Ratih memeluk
Clara.
Aku
mengulum bibir sembari menarik napas panjang. Otakku terus bertanya. Ada
hubungan apa Clara dengan Viola? Apakah mereka kembar? Atau memang Viola? Ah,
otakku ingin pecah rasanya.
"Bu,
bisa kita bicara sebentar?" tanyaku.
"Tentu
saja."
Setelah
menyuruh Clara masuk lebih dulu, Bu Ratih mengajakku duduk bersebelahan, tepat
di kursi yang sama saat kencan terakhirku bersama Viola.
"Dia
siapa, Bu?"
"Jawab,
Bu," desakku.
"Dia
... Clara, kembaran Viola." jawab Bu Ratih singkat.
Aku
meneteskan air mata. Kukira harapan itu masih ada, ternyata bukan Viola.
Kecewa, sudah pasti.
"Apa
tidak ada kabar tentang Viola, Bu?"
"Viola,
dia sudah bahagia dengan kehidupannya yang baru," ucap Bu Ratih berhasil membulatkan
tatapanku.
"Ma-maksudnya?"
tanyaku memastikan.
"Dia
sudah menikah," ungkap Bu Ratih sembari mengeluarkan ponsel dari sakunya.
Wanita
paruh baya itu menunjukkan foto Viola bersama suaminya.
"I-ini
Viola, Bu?" kagetku.
Bu
Ratih mengangguk pelan. Ia menceritakan segalanya padaku dengan tangis yang menyertainya.
Sebuah peristiwa yang kulewatkan ternyata sangat fatal. Demi menyelamatkan
Clara, Viola terpaksa menggantikan kembarannya di pelaminan.
"Pernikahan
itu sangat sakral, kenapa Viola nekat seperti itu, Bu?" tanyaku tak
terima.
"Mau
bagaimana lagi? Itu sudah menjadi keputusannya. Lagi pula mereka sudah memiliki
seorang anak," jelas Bu Ratih.
"Anak?"
kagetku bukan main.
"Sudah
jelas Viola telah melupakanku," batinku.
"Ke
mana saja, Bu, selama ini? Kenapa sulit sekali untuk kutemui. Ibu tahu, dua tahun
lamanya saya menantikan Viola kembali, saya merelakan seluruh malam hanya untuk
mengingatnya, apa ini balasannya terhadap kesetiaan saya, Bu?" jelasku lepas
kendali.
"Ibu
bisa apa? Viola yang memaksa Ibu berjanji untuk tidak menceritakannya," jawab
Bu Ratih.
Tanpa
sengaja netraku melihat Clara yang melangkah untuk mendekat. Sepertinya, gadis
itu mendengarkan semuanya. Terlihat dari sudut bibirnya yang turun.
"Jadi
ini kenyataannya, Bu?" sahut Clara.
Bu
Ratih menoleh. "Cintaku, Viola sangat menyayangimu, hatinya begitu baik
sampai harus mengorbankan perasaannya sendiri. Bahkan, ia tidak ingin kalian
tahu kebenarannya, tapi ibu tidak sanggup menyimpannya terlalu lama lagi."
Aku
tidak habis pikir, apa yang telah dilakukan Viola, gadis yang kucintai kini telah
berhasil dimiliki pria lain. Mungkin saja mereka telah berbahagia, tinggal aku sendiri
meratapi kepingan hati yang melebur menjadi luka yang entah kapan pulihnya.
Siapa
yang bisa kusalahkan? Keadaan begitu kejam menipuku. Sesaat aku dibahagiakan
dengan kehadiran Viola, lalu takdir mengambilnya dengan seenaknya. Sial sekali
hidupku ini.
"Aw!"
Spontan
tubuhku jatuh lalu tergeletak di atas rerumputan yang basah. Kedua mataku
terbelalak melihat Bu Ratih dan Clara berdiri sambil tersenyum aneh terhadapku,
dan yang lebih mengejutkan lagi, masing-masing memegang balok kayu. Apakah mereka yang memukulku? Nyeri di kepalaku
belum hilang, sudah ditambah dengan pukulan selanjutnya.
Bugh!
"Ampun,
Bu! Ampun!" teriakku.
Bugh!
Tiap
inci tubuhku terasa nyeri, rasanya tulang-tulangku remuk semua, tak kuasa
menahan sakitnya, aku pun memaksa kedua mataku untuk terbuka. Langit-langit
putih tampak di pandanganku, dalam hati bertanya, di mana Bu Ratih dan Clara?
Aku menggerakkan jari untuk menyentuh keramik.
"Astaga,
ini lantai kamarku!"
Seketika
mataku melihat ranjang yang berada tepat di sebelahku. Sejenak aku berpikir,
apakah aku jatuh dari kasur? Kutepuk pipiku dengan keras, sial, ternyata aku bermimpi.
Bisa-bisanya aku terjebak mimpi yang begitu panjang. Kucoba menguatkan tubuhku
untuk beranjak, meraih ponsel yang terletak di atas seprai berwarna biru.
Kunyalakan layar ponsel, pukul menunjukkan 09.00 pagi.
"Permisi,
Pak?" ucap pegawai yang biasa membersihkan apartemenku.
"Ah,
iya, Bu, saya mau tanya," ucapku spontan.
"Silakan,
Pak."
"Semalam
Ibu membersihkan kamar saya, kan? Apa Ibu melihat saya keluar dari kamar?"
tanyaku memastikan.
"Iya,
Pak, tapi saat saya hendak keluar, saya menemukan bapak terkapar di depan pintu
kamar. Karena panik, saya memanggil beberapa orang untuk membawa Bapak ke
kamar."
"Sa-saya
pingsan?" tebakku.
Aku
menghela napas panjang, tidak ada yang kuingat kecuali tentang mimpi semalam.
Sungguh kisah yang begitu panjang bermain dalam mimpiku, aku merasa lucu kenapa
alam bawah sadarku memutarkan mimpi seperti itu.
"Terima
kasih ya, Bu," ucapku.
Aku
pun berbalik badan lalu merebahkan tubuh ke ranjang. Aku menatap langit-langit
kamarku yang begitu terang, sembari menertawakan mimpiku semalam, lucu sekali,
aku menjadi tokoh yang sangat mengenaskan.
"Aku
merindukanmu, Vi, tenang di alam sana ya," ucapku pelan sembari tersenyum.
Setelah kepergian Viola, tidak ada gadis yang berhasil menyentuh hatiku. Membuatku masih setia dengan cinta yang bersarang sejak lama.
1 komentar untuk "Terjebak Bunga Tidur - Oleh : Putri Rohanti Zulfa (LCPC 14 Cerpen)"