Mau Ikut Lomba Menulis Gratis? Daftar Sekarang!

Terjebak Bunga Tidur - Oleh : Putri Rohanti Zulfa (LCPC 14 Cerpen)

Admin



Terjebak Bunga Tidur

Oleh : Putri Rohanti Zulfa


"Indah banget ya," ucap seorang gadis.

Gadis berambut ikal pendek dengan pita pink favoritnya, menunjuk dengan semangat ke arah bintang yang menyala tepat di atas kepalaku.

"Iya indah sekali," batinku seraya memperhatikan matanya yang berbinar.

Aku yang sedang melamun, tersenyum menatap wajah cantiknya, hampir gila oleh pesonanya malam itu. Lagu-lagu cinta telah bermain di telingaku, menambah kesan romantis pada kencan terakhir kami, walau hanya duduk berdua di kursi taman yang berada di pusat halaman rumah Viola.

"Gio!" panggil Viola.

Aku yang tertangkap basah telah melamunkannya, bertindak bingung bercampur malu.

"Eh, apa Vi?" sahutku sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Hayo, lagi ngelamun apa?" goda Viola, ekspresinya semakin menggetarkan jantungku.

"Hehe, gak ada kok, Vi," sahutku seraya tersenyum malu.

"Cie, Gio lagi lihatin Vio ya?" goda Viola terhadapku.

"Eh, Vio jangan kepedean ya," balasku sambil mencubit hidungnya.

"Ih Gio, gak usah gengsi deh, siapa tahu ini yang terakhir kalinya Gio lihat Vio," rajuknya.

"Vio? Kenapa ngomong gitu? Vio mau ninggalin Gio?" tanyaku memastikan.

"Masa depan kan gak ada yang tahu Gio, hehe," balasnya dengan senyum.

"Vio percaya cinta kan? Sampai kapanpun, Gio gak akan ninggalin Vio, begitu juga sebaliknya, kita akan selalu bersama selamanya." Sontak Viola memelukku dan meneteskan air mata.

Seketika ketukan pintu mengejutkanku, dengan cepat aku mengusap wajahku, Aku berusaha tidak mengedipkan mata untuk menahan tangis. Kututup tiap lembar buku harian milik Viola,  tampak foto sepasang kekasih yang tertempel mesra di halaman belakang. Hal itu mengikat napasku hingga sesak, tanpa sadar pipiku telah basah oleh air mata.

"Andai waktu dapat berputar, aku ingin kembali ke masa lalu," ucapku sambil mengusap buku harian mantan kekasihku.

"Selamat malam, Pak," tegur seorang pegawai yang mendadak masuk.

Pegawai itu berjalan sembari membawa alat kebersihan, seperti biasa ia akan membersihkan kamar apartmemenku.

Aku pun beranjak, melepas jas dan melemparkannya ke atas kursi. Setelah seharian rapat di kantor, aku berencana keluar untuk mendapatkan udara segar.

***

Dua tahun berlalu, kenangan bersama Viola masih segar di ingatanku. Tiada lagi keindahan pada bintang yang kupandang, di saat aku sudah mampu memantaskan diri untuk wanita pujaan hati, keadaan justru menjauhkanku dari mimpi.

Di tengah terangnya malam, kutapaki jalan tanpa arah, menatap kosong lampu-lampu jalan.

"Hei! Siapa di sana? Bisa tolong saya tidak?!" Teriakan seorang gadis berhasil mengejutkanku.

Aku pun berbalik, terlihat sosok yang tak jelas wajahnya karena silau lampu dari mobilnya. Tampak ia melambaikan tangan, aku pun menghampirinya.

Gadis itu menyingkirkan helai rambut yang menutupi wajahnya. Sungguh terkejutnya aku saat berpapasan dengan seseorang yang wajahnya persis dengan sang mantan.

"Viola?" Spontan nama itu keluar dari lisanku.

"Viola? Maaf, saya Clara," heran gadis itu.

"Bagaimana bisa wajahnya mirip sekali," batinku.

"Em ... sepertinya kamu salah orang, saya Clara."

Sesak rasanya ketika mengetahui kenyataan masih unggul dari ribuan angan yang kulayangkan. Sesaat aku berkedip untuk menyembunyikan mataku yang berlinang.

"Ma-maaf, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku sembari menormalkan akal.

"Oh iya, saya mau tanya alamat ini," ujar Clara.

Gadis itu menyerahkan kertas kepadaku, aku pun menerimanya. Lagi dan lagi aku dikagetkan dengan alamat yang ia tunjukkan.

"Alamat ini--"

"Kamu tahu? Itu alamat ibu saya," balasnya.

"Ibu?"

"Iya, ibu saya, kata nenek saya, ibu saya tinggal di daerah sini."

"Hei! Hallo?" panggilnya memecahkan lamunanku.

"Ah, i-iya saya bisa antarkan," ucapku. 

Bersikeras aku menyingkirkan ribuan pertanyaan, tanpa menunggu lama, aku pun memasuki mobilnya untuk menunjukkan jalan.

Setelah tiba, aku memandang rumah yang tak asing di ingatanku. Viola, ya, rumah itu adalah rumah mantan kekasihku. Dengan ragu, aku pun mendekati pintu.

"Biar aku saja," ucap Clara sembari menekan bel.

Tak lama kemudian, wanita paruh baya membukakan pintu. Aku hanya mematung melihat sosok ibu mertua ... mantan calon ibu mertua maksudku.

"Cintaku, selamat datang, berikan tubuhmu ... aku rindu," ujar Bu Ratih memeluk Clara.

Aku mengulum bibir sembari menarik napas panjang. Otakku terus bertanya. Ada hubungan apa Clara dengan Viola? Apakah mereka kembar? Atau memang Viola? Ah, otakku ingin pecah rasanya.

"Bu, bisa kita bicara sebentar?" tanyaku.

"Tentu saja."

Setelah menyuruh Clara masuk lebih dulu, Bu Ratih mengajakku duduk bersebelahan, tepat di kursi yang sama saat kencan terakhirku bersama Viola.

"Dia siapa, Bu?"

"Jawab, Bu," desakku.

"Dia ... Clara, kembaran Viola." jawab Bu Ratih singkat.

Aku meneteskan air mata. Kukira harapan itu masih ada, ternyata bukan Viola. Kecewa, sudah pasti.

"Apa tidak ada kabar tentang Viola, Bu?"

"Viola, dia sudah bahagia dengan kehidupannya yang baru," ucap Bu Ratih berhasil membulatkan tatapanku.

"Ma-maksudnya?" tanyaku memastikan.

"Dia sudah menikah," ungkap Bu Ratih sembari mengeluarkan ponsel dari sakunya.

Wanita paruh baya itu menunjukkan foto Viola bersama suaminya.

"I-ini Viola, Bu?" kagetku.

Bu Ratih mengangguk pelan. Ia menceritakan segalanya padaku dengan tangis yang menyertainya. Sebuah peristiwa yang kulewatkan ternyata sangat fatal. Demi menyelamatkan Clara, Viola terpaksa menggantikan kembarannya di pelaminan.

"Pernikahan itu sangat sakral, kenapa Viola nekat seperti itu, Bu?" tanyaku tak terima.

"Mau bagaimana lagi? Itu sudah menjadi keputusannya. Lagi pula mereka sudah memiliki seorang anak," jelas Bu Ratih.

"Anak?" kagetku bukan main.

"Sudah jelas Viola telah melupakanku," batinku.

"Ke mana saja, Bu, selama ini? Kenapa sulit sekali untuk kutemui. Ibu tahu, dua tahun lamanya saya menantikan Viola kembali, saya merelakan seluruh malam hanya untuk mengingatnya, apa ini balasannya terhadap kesetiaan saya, Bu?" jelasku lepas kendali.

"Ibu bisa apa? Viola yang memaksa Ibu berjanji untuk tidak menceritakannya," jawab Bu Ratih.

Tanpa sengaja netraku melihat Clara yang melangkah untuk mendekat. Sepertinya, gadis itu mendengarkan semuanya. Terlihat dari sudut bibirnya yang turun.

"Jadi ini kenyataannya, Bu?" sahut Clara.

Bu Ratih menoleh. "Cintaku, Viola sangat menyayangimu, hatinya begitu baik sampai harus mengorbankan perasaannya sendiri. Bahkan, ia tidak ingin kalian tahu kebenarannya, tapi ibu tidak sanggup menyimpannya terlalu lama lagi."

Aku tidak habis pikir, apa yang telah dilakukan Viola, gadis yang kucintai kini telah berhasil dimiliki pria lain. Mungkin saja mereka telah berbahagia, tinggal aku sendiri meratapi kepingan hati yang melebur menjadi luka yang entah kapan pulihnya.

Siapa yang bisa kusalahkan? Keadaan begitu kejam menipuku. Sesaat aku dibahagiakan dengan kehadiran Viola, lalu takdir mengambilnya dengan seenaknya. Sial sekali hidupku ini.

"Aw!"

Spontan tubuhku jatuh lalu tergeletak di atas rerumputan yang basah. Kedua mataku terbelalak melihat Bu Ratih dan Clara berdiri sambil tersenyum aneh terhadapku, dan yang lebih mengejutkan lagi, masing-masing memegang balok kayu.  Apakah mereka yang memukulku? Nyeri di kepalaku belum hilang, sudah ditambah dengan pukulan selanjutnya.

Bugh!

"Ampun, Bu! Ampun!" teriakku.

Bugh!

Tiap inci tubuhku terasa nyeri, rasanya tulang-tulangku remuk semua, tak kuasa menahan sakitnya, aku pun memaksa kedua mataku untuk terbuka. Langit-langit putih tampak di pandanganku, dalam hati bertanya, di mana Bu Ratih dan Clara? Aku menggerakkan jari untuk menyentuh keramik.

"Astaga, ini lantai kamarku!"

Seketika mataku melihat ranjang yang berada tepat di sebelahku. Sejenak aku berpikir, apakah aku jatuh dari kasur? Kutepuk pipiku dengan keras, sial, ternyata aku bermimpi. Bisa-bisanya aku terjebak mimpi yang begitu panjang. Kucoba menguatkan tubuhku untuk beranjak, meraih ponsel yang terletak di atas seprai berwarna biru. Kunyalakan layar ponsel, pukul menunjukkan 09.00 pagi.

"Permisi, Pak?" ucap pegawai yang biasa membersihkan apartemenku.

"Ah, iya, Bu, saya mau tanya," ucapku spontan.

"Silakan, Pak."

"Semalam Ibu membersihkan kamar saya, kan? Apa Ibu melihat saya keluar dari kamar?" tanyaku memastikan.

"Iya, Pak, tapi saat saya hendak keluar, saya menemukan bapak terkapar di depan pintu kamar. Karena panik, saya memanggil beberapa orang untuk membawa Bapak ke kamar."

"Sa-saya pingsan?" tebakku.

Aku menghela napas panjang, tidak ada yang kuingat kecuali tentang mimpi semalam. Sungguh kisah yang begitu panjang bermain dalam mimpiku, aku merasa lucu kenapa alam bawah sadarku memutarkan mimpi seperti itu.

"Terima kasih ya, Bu," ucapku.

Aku pun berbalik badan lalu merebahkan tubuh ke ranjang. Aku menatap langit-langit kamarku yang begitu terang, sembari menertawakan mimpiku semalam, lucu sekali, aku menjadi tokoh yang sangat mengenaskan.

"Aku merindukanmu, Vi, tenang di alam sana ya," ucapku pelan sembari tersenyum.

Setelah kepergian Viola, tidak ada gadis yang berhasil menyentuh hatiku. Membuatku masih setia dengan cinta yang bersarang sejak lama.


1 komentar

  1. Love❤️
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.