ART OF LIFE
OLEH LISA ANASTASYA
WARN: SUDUT PANDANG ORANG PERTAMA, PERCAKAPAN
NON-BAKU, MENTION OF DEATH.
Terkadang,
ketika bosan aku hanya memandang awan. Melihat birunya langit dengan mata
telanjang, melihat gambaran putih abstrak yang kadang ku sugestikan menjadi
bentuk sesuatu yang aku inginkan. Tak jarang juga saut-sautan semangat anak
kecil menjadi suara latar. Tentang bagaimana bisa teman mereka membentuk rumah
pasir, atau jadi apa mereka saat dewasa tiba. Jujur aku pernah bermimpi menjadi
politikus muda yang dikenal bersahaja, namun pupus saat aku mengetahui dunia
politik padahal hanya sedikit.
Dunia
tarik suara sempat menjadi alternatifku, namun lagi-lagi pupus saat menyadari
bahwa suaraku tidak sebagus itu.
Lalu
aku pun sadar, selama ini aku hanya "ingin" dan belum mencapai tahap
"yakin". Asal kalian tau, ketika aku sudah yakin, kertas hitam tembus
pandang dari rumah sakit datang, deklarasi yang menyatakan jika nenek terkena
gangguan orang dalam, jantung lebih tepatnya. Di mana beliau harus mendapat
perhatian lebih dan rawat jalan intensif, yang mana aku lah pengurusnya.
Mungkin pertanyaan kalian sudah menyangkut di tenggorokan dan hendak
mengucapkan, “Kemana orang tuamu?” Jawabannya sederhana, mereka bekerja. Karena
pembiayaan untuk nenek tidak sedikit, bahkan melebihi uang yang biasanya kami
pegang.
Cerita
itu dimulai saat aku kelas 3 SMA, di mana seorang siswa/siswi sedang
sibuk-sibuknya belajar untuk ujian masuk perguruan tinggi. Waktu itu aku
menghabiskan diri di taman, memegang buku tebal berisikan beribu soal yang aku
coba kerjakan. Di sampingnya terdapat kertas lusuh lain berisi coretan yang
memuat alasan mengapa aku menyilang jawaban di buku tebal itu. Sesekali aku
menggaruk ringan rambutku ketika hasil yang ku temui tidak ada di pilihan,
sekitar 3 kali percobaan sampai akhirnya hasil yang kutemukan cocok. Aku
langsung menghela napas lega seakan sudah menyelamatkan dunia dari bencana.
“Kalau
gak bisa harusnya minta bantuan, biar diajarin gimana caranya. Gila aja lo nyoba
sendiri sampe selama itu, untung jawabannya ketemu. Coba kalau gak?” saut suara
dari belakang.
Tanpa
menoleh aku tau siapa pemilik suara ini. Ia sepupu lelakiku. Kami seumuran tapi
entah mengapa dia sangat pandai, aku yakin dia bisa memasuki perguruan tinggi
manapun, sayangnya dia sangat acuh terhadap hal itu. Dia hanya bilang kalau
sudah berjodoh dengan salah satu perguruan tinggi, pasti tidak akan kemana.
“Justru
itu, gak mungkin kan waktu tes gue tanya orang lain. Yang ada gue langsung
dikeluarin,” jawabku.
“Lo
mau masuk mana sih sebenernya?” tanya Rendra, nama sepupuku.
“Maunya
sih UGM. Tapi kan lo tau kalau gue ke sana, berarti gue harus rantau. Nanti
nenek gak ada yang jagain.” Rendra hanya membulatkan bibirnya, tidak menyaut
lagi.
Kami
berdua berjalan berdampingan diiringi dengan obrolan basa-basi ringan. Oh iya, ayah
Rendra adalah orang yang biasanya menyetir untuk nenek saat checkup
rutin. Berhubung kami seumuran, sama-sama masih menginjak bangku putih abu-abu,
beberapa kesamaan bisa kami berdua jumpai. Sekedar informasi, kerabatku juga
menjaga nenek saat aku masih sekolah. Jujur saja aku sangat bersyukur untuk hal
ini, sebab jauh di dalam pikiran, aku juga ingin bermain, menghabiskan waktu
bersama teman, bersendau gurau, atau hanya menyempatkan waktu menonton film
yang sedang hangat di bioskop bersama mereka. Saat awal nenek terkena penyakit
yang membuatnya harus rawat jalan, di situlah aku mulai beradaptasi,
menyelipkan pemikiran bahwa ada seseorang yang bertaruh nyawanya dalam
genggamanku.
Ditambah
lagi aku harus belajar tambahan, lelahnya 2 kali lipat. Di persimpangan jalan
kami berpisah. Usut punya usut, Rendra ke taman hanya untuk mencari mainan
adiknya yang tertinggal dan ia berkata kebetulan melihat figur belakangku.
Setelah
beberapa saat akhirnya aku menapaki paving rumah, mengucap tanda kepulangan.
Lukisan terpasang rapi di dinding rumah. Selain “ingin” menjadi politikus dan
penyanyi, aku juga pernah “yakin” menjadi pelukis. Alasannnya sederhana, saat
kecil aku suka sekali menorehkan tangan berpensilku pada kertas kosong, aku
menikmatinya, secara mengejutkan nenek juga mendukungku menjadi pelukis
sedangkan orang tuaku kurang setuju. Namum memasuki tingkat SMP, aku sudah
jarang melakukannya.
Aku
tidak mendapati nenek di tempat tidurnya, mematik rasa cemasku sejenak. Rupanya
beliau mengambil beberapa makanan, “Belajarnya udah selesai?” tanya beliau.
“Belum
sih, Nek. Tapi buat hari ini kayanya udah cukup. Sini aku yang bawa, Nenek
duluan aja.”
Selepas
itu kami makan dengan khidmat, termasuk saat nenek meminum obatnya. Hanya
dengan itu beliau bisa mempertahankan kesadarannya. Kerutan mulai muncul di
wajahnya, tangan ringkih yang dulunya sanggup menggendongku kemana saja telah
tertutup oleh keriput, ringkih, dan tampak bisa patah kapan saja. Padahal hanya
memegang gelas, tapi tangan itu bergetar. Setiap hari aku menyaksikan bagaimana
obat itu memasuki tubuh Nenek, perubahan signifikan terus muncul, terutama di
berat badan beliau yang merosot jauh. Semalam aku juga menceritakan hal ini
kepada ayah lewat video call yang tentunya tanpa sepengetahuan nenek.
Ayah
hanya mewanti agar aku tidak menurunkan pengawasan terhadap nenek ketika di
rumah, dan ia juga berkata akan pulang dalam waktu dekat karena nenek
merindukannya. Ayah pun berpesan jika aku memerlukan sesuatu untuk persiapan
memasuki perguruan tinggi agar langsung menghubunginya. Aku mengiyakan dengan
cepat semalam. Sebenarnya aku juga sama seperti Rendra, tidak terlalu tertarik
dengan perguruan tinggi, condong ke arah melukis. Yah seperti yang kalian tau,
orang tuaku kurang setuju, bahkan berkata jika melukis hanya bisa dijadikan
hobi, bukan sebuah pekerjaan tetap. Mau menentang, tapi sulit rasanya,
mengingat aku masih bergantung hidup dengan mereka.
“Nduk,
nenek boleh minta tolong gak?”
Jarang
sekali nenek meminta tolong kepadaku, “Soal apa, Nek?” tanyaku balik.
“Tetap
melukis ya. Nenek suka lihat lukisan kamu. Indah soalnya.” Beliau berkata
dengan sedikit tertawa, tidak lupa dengan senyuman ringan di wajahnya.
Sontak
aku tertegun, saat akan membalas, mataku rasanya panas. “Nenek ‘kan tau sendiri
kalau sebentar lagi aku kuliah, ayah juga gak setuju kalau aku lebih fokus
melukis.”
“Tenang
aja, nanti biar itu urusannya nenek. Kalau kamu dimarahin, nanti nenek marahin
balik ayah kamu,” Beliau merogoh sakunya, megambil dompet lalu menarik beberapa
lembar uang kertas, “buat beli kanvas sama catnya. Punyamu dulu udah kering
pasti. Sama jangan lupa beli kapur barus,” lanjutnya.
Peralatan
lukisnya aku mengerti, tapi bagian kapur barusnya, untuk apa? Lalu aku teringat
jika baju di lemari perlu diberi kapur barus agar tidak dimakan serangga. Aku
langsung pamit membeli barang yang nenek pesankan.
“Nostalgia.”
Tanpa sadar aku berucap begitu. Sudah lumayan lama sejak terakhir kali aku
mengunjungi tempat ini. Rupanya telah terjadi renovasi di beberapa bagian. Tanpa
berlama lagi setelah mendapat apa yang aku cari, aku langsung Kembali. Khawatir
membuat nenek menunggu sendiri di rumah.
Nenek
juga ingin melihat gambaranku, jujur saja, kuas yang ku pegang terasa kaku,
terasa seperti seorang pemula yang pertama kali memegang peralatan melukis.
Sekitar 45 menit, gambaran dua insan di bawah pohon rindang terlihat, mereka
seperti sedang membaca cerita. Seorang perempuan paruh baya dengan anak kecil
di pangkuannya. “Ini nenek simpen di kamar nenek, ya?” aku menganggukan kepala.
Dan
asal kalian tau, dua hari setelah itu nenek dilarikan ke rumah sakit. Kondisinya
menurun drastis. Orang tua ku juga kembali. Kami semua berdoa untuk kesembuhan
nenek walaupun rasanya sedikit mustahil. Di sekolah juga aku tidak bisa
berkonsentrasi. Setelah semua upaya yang kami dan dokter lakukan, nenek
menghembuskan napas terakhirnya. Bayangan terkait permohonannya waktu lalu muncul
di pikiranku. Tetap melukis, katanya. Kapur barus yang aku kira akan digunakan
di lemari, justru digunakan terhadap jasad nenek. Bodoh sekali aku tidak
menyadarinya. Apakah nenek sudah mengetahui jika hidupnya tidak akan lama lagi?
Semua
kesedihan tertuang, isak tangis pun menjadi sering terdengar, larut dalam duka.
Tapi aku tidak bisa berlama, mengatakan jika aku tidak akan melanjutkan
perguruan tinggi padahal situasi masih seperti ini, egois, dan aku sadar.
Ucapanku sempat mematik kemarahan dari Ayah. Namun aku tidak peduli, aku hanya
ingin melakukan apa yang aku sukai.
Dan
dari situlah aku bekerja paruh waktu sekaligus menjadi pelukis, mimpi yang aku
dan nenek inginkan. Hubunganku dengan ayah juga mulai membaik. Bahkan kemarin
beliau mengirimiku sepaket cat lengkap. Dan setiap ak merindukan nenek, aku
mulai melukis sesuatu tentangnya, senyum tulusnya, kebiasaannya yang dulu
sering membacakanku dongeng saat aku kecil, dan semua yang mengingatkanku
dengan nenek. Tak jarang yang ku lukis adalah gambar abstrak.
Sesudah
itu aku tersadar, jika apa yang aku yakini sebagai mimpi, itu juga sesuatu yang
aku inginkan. Tak perlu banyak, hanya satu pendukung mimpi, aku merasa sanggup
menggapainya. Lihatlah sekarang. Aku berdiri diantara penggenggam kuas terbaik
di negeri. Memamerkan lukisan buatanku, menunjukan dengan penuh kebanggaan.
Saat ini lukisan terpanjangku ada di museum, memuat perjalananku dari awal
hingga menjadi seperti sekarang. Art Of Life, aku menyebutnya.