Mau Ikut Lomba Menulis Gratis? Daftar Sekarang!

ART OF LIFE - OLEH LISA ANASTASYA (LCPC 14 Cerpen)

Admin

 


ART OF LIFE

OLEH LISA ANASTASYA

 

WARN: SUDUT PANDANG ORANG PERTAMA, PERCAKAPAN NON-BAKU, MENTION OF DEATH.

Terkadang, ketika bosan aku hanya memandang awan. Melihat birunya langit dengan mata telanjang, melihat gambaran putih abstrak yang kadang ku sugestikan menjadi bentuk sesuatu yang aku inginkan. Tak jarang juga saut-sautan semangat anak kecil menjadi suara latar. Tentang bagaimana bisa teman mereka membentuk rumah pasir, atau jadi apa mereka saat dewasa tiba. Jujur aku pernah bermimpi menjadi politikus muda yang dikenal bersahaja, namun pupus saat aku mengetahui dunia politik padahal hanya sedikit.

Dunia tarik suara sempat menjadi alternatifku, namun lagi-lagi pupus saat menyadari bahwa suaraku tidak sebagus itu.

Lalu aku pun sadar, selama ini aku hanya "ingin" dan belum mencapai tahap "yakin". Asal kalian tau, ketika aku sudah yakin, kertas hitam tembus pandang dari rumah sakit datang, deklarasi yang menyatakan jika nenek terkena gangguan orang dalam, jantung lebih tepatnya. Di mana beliau harus mendapat perhatian lebih dan rawat jalan intensif, yang mana aku lah pengurusnya. Mungkin pertanyaan kalian sudah menyangkut di tenggorokan dan hendak mengucapkan, “Kemana orang tuamu?” Jawabannya sederhana, mereka bekerja. Karena pembiayaan untuk nenek tidak sedikit, bahkan melebihi uang yang biasanya kami pegang.

Cerita itu dimulai saat aku kelas 3 SMA, di mana seorang siswa/siswi sedang sibuk-sibuknya belajar untuk ujian masuk perguruan tinggi. Waktu itu aku menghabiskan diri di taman, memegang buku tebal berisikan beribu soal yang aku coba kerjakan. Di sampingnya terdapat kertas lusuh lain berisi coretan yang memuat alasan mengapa aku menyilang jawaban di buku tebal itu. Sesekali aku menggaruk ringan rambutku ketika hasil yang ku temui tidak ada di pilihan, sekitar 3 kali percobaan sampai akhirnya hasil yang kutemukan cocok. Aku langsung menghela napas lega seakan sudah menyelamatkan dunia dari bencana.

“Kalau gak bisa harusnya minta bantuan, biar diajarin gimana caranya. Gila aja lo nyoba sendiri sampe selama itu, untung jawabannya ketemu. Coba kalau gak?” saut suara dari belakang.

Tanpa menoleh aku tau siapa pemilik suara ini. Ia sepupu lelakiku. Kami seumuran tapi entah mengapa dia sangat pandai, aku yakin dia bisa memasuki perguruan tinggi manapun, sayangnya dia sangat acuh terhadap hal itu. Dia hanya bilang kalau sudah berjodoh dengan salah satu perguruan tinggi, pasti tidak akan kemana.

“Justru itu, gak mungkin kan waktu tes gue tanya orang lain. Yang ada gue langsung dikeluarin,” jawabku. 

“Lo mau masuk mana sih sebenernya?” tanya Rendra, nama sepupuku.

“Maunya sih UGM. Tapi kan lo tau kalau gue ke sana, berarti gue harus rantau. Nanti nenek gak ada yang jagain.” Rendra hanya membulatkan bibirnya, tidak menyaut lagi.

Kami berdua berjalan berdampingan diiringi dengan obrolan basa-basi ringan. Oh iya, ayah Rendra adalah orang yang biasanya menyetir untuk nenek saat checkup rutin. Berhubung kami seumuran, sama-sama masih menginjak bangku putih abu-abu, beberapa kesamaan bisa kami berdua jumpai. Sekedar informasi, kerabatku juga menjaga nenek saat aku masih sekolah. Jujur saja aku sangat bersyukur untuk hal ini, sebab jauh di dalam pikiran, aku juga ingin bermain, menghabiskan waktu bersama teman, bersendau gurau, atau hanya menyempatkan waktu menonton film yang sedang hangat di bioskop bersama mereka. Saat awal nenek terkena penyakit yang membuatnya harus rawat jalan, di situlah aku mulai beradaptasi, menyelipkan pemikiran bahwa ada seseorang yang bertaruh nyawanya dalam genggamanku.

Ditambah lagi aku harus belajar tambahan, lelahnya 2 kali lipat. Di persimpangan jalan kami berpisah. Usut punya usut, Rendra ke taman hanya untuk mencari mainan adiknya yang tertinggal dan ia berkata kebetulan melihat figur belakangku.

Setelah beberapa saat akhirnya aku menapaki paving rumah, mengucap tanda kepulangan. Lukisan terpasang rapi di dinding rumah. Selain “ingin” menjadi politikus dan penyanyi, aku juga pernah “yakin” menjadi pelukis. Alasannnya sederhana, saat kecil aku suka sekali menorehkan tangan berpensilku pada kertas kosong, aku menikmatinya, secara mengejutkan nenek juga mendukungku menjadi pelukis sedangkan orang tuaku kurang setuju. Namum memasuki tingkat SMP, aku sudah jarang melakukannya.

Aku tidak mendapati nenek di tempat tidurnya, mematik rasa cemasku sejenak. Rupanya beliau mengambil beberapa makanan, “Belajarnya udah selesai?” tanya beliau.

“Belum sih, Nek. Tapi buat hari ini kayanya udah cukup. Sini aku yang bawa, Nenek duluan aja.”

Selepas itu kami makan dengan khidmat, termasuk saat nenek meminum obatnya. Hanya dengan itu beliau bisa mempertahankan kesadarannya. Kerutan mulai muncul di wajahnya, tangan ringkih yang dulunya sanggup menggendongku kemana saja telah tertutup oleh keriput, ringkih, dan tampak bisa patah kapan saja. Padahal hanya memegang gelas, tapi tangan itu bergetar. Setiap hari aku menyaksikan bagaimana obat itu memasuki tubuh Nenek, perubahan signifikan terus muncul, terutama di berat badan beliau yang merosot jauh. Semalam aku juga menceritakan hal ini kepada ayah lewat video call yang tentunya tanpa sepengetahuan nenek.

Ayah hanya mewanti agar aku tidak menurunkan pengawasan terhadap nenek ketika di rumah, dan ia juga berkata akan pulang dalam waktu dekat karena nenek merindukannya. Ayah pun berpesan jika aku memerlukan sesuatu untuk persiapan memasuki perguruan tinggi agar langsung menghubunginya. Aku mengiyakan dengan cepat semalam. Sebenarnya aku juga sama seperti Rendra, tidak terlalu tertarik dengan perguruan tinggi, condong ke arah melukis. Yah seperti yang kalian tau, orang tuaku kurang setuju, bahkan berkata jika melukis hanya bisa dijadikan hobi, bukan sebuah pekerjaan tetap. Mau menentang, tapi sulit rasanya, mengingat aku masih bergantung hidup dengan mereka.

“Nduk, nenek boleh minta tolong gak?”

Jarang sekali nenek meminta tolong kepadaku, “Soal apa, Nek?” tanyaku balik.

“Tetap melukis ya. Nenek suka lihat lukisan kamu. Indah soalnya.” Beliau berkata dengan sedikit tertawa, tidak lupa dengan senyuman ringan di wajahnya.

Sontak aku tertegun, saat akan membalas, mataku rasanya panas. “Nenek ‘kan tau sendiri kalau sebentar lagi aku kuliah, ayah juga gak setuju kalau aku lebih fokus melukis.”

“Tenang aja, nanti biar itu urusannya nenek. Kalau kamu dimarahin, nanti nenek marahin balik ayah kamu,” Beliau merogoh sakunya, megambil dompet lalu menarik beberapa lembar uang kertas, “buat beli kanvas sama catnya. Punyamu dulu udah kering pasti. Sama jangan lupa beli kapur barus,” lanjutnya.

Peralatan lukisnya aku mengerti, tapi bagian kapur barusnya, untuk apa? Lalu aku teringat jika baju di lemari perlu diberi kapur barus agar tidak dimakan serangga. Aku langsung pamit membeli barang yang nenek pesankan.

“Nostalgia.” Tanpa sadar aku berucap begitu. Sudah lumayan lama sejak terakhir kali aku mengunjungi tempat ini. Rupanya telah terjadi renovasi di beberapa bagian. Tanpa berlama lagi setelah mendapat apa yang aku cari, aku langsung Kembali. Khawatir membuat nenek menunggu sendiri di rumah.

Nenek juga ingin melihat gambaranku, jujur saja, kuas yang ku pegang terasa kaku, terasa seperti seorang pemula yang pertama kali memegang peralatan melukis. Sekitar 45 menit, gambaran dua insan di bawah pohon rindang terlihat, mereka seperti sedang membaca cerita. Seorang perempuan paruh baya dengan anak kecil di pangkuannya. “Ini nenek simpen di kamar nenek, ya?” aku menganggukan kepala.

Dan asal kalian tau, dua hari setelah itu nenek dilarikan ke rumah sakit. Kondisinya menurun drastis. Orang tua ku juga kembali. Kami semua berdoa untuk kesembuhan nenek walaupun rasanya sedikit mustahil. Di sekolah juga aku tidak bisa berkonsentrasi. Setelah semua upaya yang kami dan dokter lakukan, nenek menghembuskan napas terakhirnya. Bayangan terkait permohonannya waktu lalu muncul di pikiranku. Tetap melukis, katanya. Kapur barus yang aku kira akan digunakan di lemari, justru digunakan terhadap jasad nenek. Bodoh sekali aku tidak menyadarinya. Apakah nenek sudah mengetahui jika hidupnya tidak akan lama lagi?

Semua kesedihan tertuang, isak tangis pun menjadi sering terdengar, larut dalam duka. Tapi aku tidak bisa berlama, mengatakan jika aku tidak akan melanjutkan perguruan tinggi padahal situasi masih seperti ini, egois, dan aku sadar. Ucapanku sempat mematik kemarahan dari Ayah. Namun aku tidak peduli, aku hanya ingin melakukan apa yang aku sukai.

Dan dari situlah aku bekerja paruh waktu sekaligus menjadi pelukis, mimpi yang aku dan nenek inginkan. Hubunganku dengan ayah juga mulai membaik. Bahkan kemarin beliau mengirimiku sepaket cat lengkap. Dan setiap ak merindukan nenek, aku mulai melukis sesuatu tentangnya, senyum tulusnya, kebiasaannya yang dulu sering membacakanku dongeng saat aku kecil, dan semua yang mengingatkanku dengan nenek. Tak jarang yang ku lukis adalah gambar abstrak.

Sesudah itu aku tersadar, jika apa yang aku yakini sebagai mimpi, itu juga sesuatu yang aku inginkan. Tak perlu banyak, hanya satu pendukung mimpi, aku merasa sanggup menggapainya. Lihatlah sekarang. Aku berdiri diantara penggenggam kuas terbaik di negeri. Memamerkan lukisan buatanku, menunjukan dengan penuh kebanggaan. Saat ini lukisan terpanjangku ada di museum, memuat perjalananku dari awal hingga menjadi seperti sekarang. Art Of Life, aku menyebutnya.



إرسال تعليق

Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.