“Asa dari
Jeruji Besi”
Fiora
Trisyawalika Agvieni
Dinginnya tembok penjara tidak
mudah dipaparkan oleh rangkaian kata apapun. Juniel tidak dapat mengatakan apa
yang ia rasakan setelah tinggal di balik jeruji besi selama kurang lebih empat
tahun kepada siapapun yang datang mengunjunginya. Juniel pernah berharap
beberapa kali bahwa kejahatan yang dituduhkan padanya itu tidak benar-benar ia
lakukan. Namun, hari itu ia jelas melihat dirinya sendiri sedang memegang pisau
dapur berlumuran darah di tangan kanannya. Siapa saja yang melihat
penampilannya saat itu pasti sudah langsung meneriakinya dengan sebutan
pembunuh. Juniel benar-benar tidak bisa menyangkal lebih lama lagi karena ia
sendiri juga kebingungan dan tidak bisa membuktikan dirinya tidak bersalah.
Terlebih mayat yang tergeletak di depannya adalah mayat ayahnya sendiri. Akan
ada banyak dugaan yang bisa menjadi motifnya melakukan pembunuhan terhadap ayah
kandungnya tersebut. Hubungannya pun dengan sang ayah tidak selalu baik sejak
kepergian ibunya lima tahun yang lalu. Juniel
sudah lama kehilangan harapan dan terlalu takut untuk memikirkan masa depan
yang pastinya tidak akan berjalan dengan mudah baginya. Catatan kriminal akan
terus mengikuti identitas pribadinya. Dunia itu adalah tempat tergelap dan
berbahaya untuk sekedar meletakkan pelita harapan yang cahayanya tak lebih baik
dari sebatang lilin. Juniel terlanjur pesimis dengan keadaannya walau ia tahu
bahwa sisa masa hukumannya hampir selesai. Paling tidak ia memiliki satu tahun
untuk menata kehidupannya pasca keluar dari penjara. Juniel sudah tahu bahwa
rencana untuk mulai mengejar impiannya hanyalah sebatas rencana yang hasil
akhirnya akan tetap sama seperti yang ia pikirkan selama ini.
Sudah sekitar sepuluh menit
Juniel duduk diam di bawah sebuah pohon yang berada di sudut kiri lapangan
penjara. Matanya yang terpejam dan deruan angin yang menerpa dedaunan dari
pohon tersebut membuatnya merajut secercah impian di dalam kepalanya.
Narapidana tetaplah manusia biasa. Para pelaku kriminal pun memiliki masa lalu
dan masa depan. Juniel adalah salah satunya. Tidak ada yang salah dari bermimpi
untuk kehidupannya yang baru. Ia hanya menginginkan sebuah pekerjaan tetap dan
gaji yang stabil untuk menghidupi dirinya dan adik perempuannya yang sekarang masih
SMA. Impian sederhana itu terkadang hanyut ditelan ketakutan Juniel tentang
kesulitan yang bisa ia hadapi dalam usahanya meraih impian tersebut karena
statusnya yang merupakan seorang mantan narapidana. Setelah satu tahun
berikutnya, ia harus berusaha keras untuk bertahan hidup dan menghidupi Jeana
yang masih dalam tanggungannya hingga gadis ceria itu menikah nanti. Ah tidak,
Juniel terlalu menyedihkan untuk disebut sebagai kakak yang baik bagi adiknya. “Hei!
Tuan 2541, ada kunjungan,” sahut seorang sipir secara tiba-tiba. Juniel membuka
matanya dan berdiri tanpa semangat karena merasa mimpi indah yang baru saja ia
rasakan menghilang bersamaan dengan masuknya cahaya matahari ke dalam matanya.
Mimpi indah dimana ia dan Jeana hidup damai di sebuah rumah sederhana, lalu
tertawa berdua bersama makanan enak yang tertata di hadapannya. Juniel merasa
bahwa mimpi itu cukup berharga baginya meskipun ia tahu bahwa harga untuk
mewujudkannya pun tidak murah. Sesampainya di ruangan kunjungan, Juniel melihat
wajah adiknya yang begitu ia sayangi kehilangan cahayanya. Terdapat luka dan
perban yang menempel di sekitar dagu dan pipi Jeana. Juniel tidak dapat
menyembunyikan perasaan bersalahnya setelah menyaksikan kondisi wajah Jeana
yang tidak sekali dua kali ia lihat. Juniel benar-benar tidak berdaya dan hanya
bisa menunduk meratapi nasib malangnya. Jeana hanya duduk diam dengan kedua
mata yang mulai tergenang air mata. Di bawah meja, kedua tangan Jeana terkepal
kuat di atas kedua lututnya. Ada rasa sakit yang mati-matian ia tahan dan ada
ribuan keluhan yang ingin sekali ia tumpahkan pada orang yang duduk di
hadapannya saat ini. Tetapi, Jeana satu tipe dengan Juniel yang senang menahan
gemuruh di dalam hatinya sendirian.
“Apa kabar, Dik?” Jeana
menggeleng kecil, lalu tersenyum lemah. “Aku selalu berusaha terlihat baik-baik
saja di depanmu, ‘kan. Ini yang aku benci dari dirimu, Kak. Kamu membuatku
terseret dalam situasi yang hampir membunuhku. Kamu pikir aku akan terus
berkata ‘aku baik-baik saja, Kak’ dengan senyuman lebar seperti yang selalu kamu
harapkan? Tidak! Aku akui bahwa diriku lemah dan sejak kamu masuk ke sini, aku
semakin mudah ditindas. Lucu, bukan?” Mendengar itu, satu tetes air mata jatuh
dari sudut kiri mata Juniel. Rasa sakit adiknya bisa ia rasakan tanpa perlu
melihatnya. Puluhan ribu kata maaf pun tidak akan pernah cukup untuk
menyembuhkan luka batin dan fisik Jeana. Juniel tidak berani mengangkat
wajahnya untuk menatap adiknya. Ia sangat bersalah atas kondisi adiknya
tersebut. “Empat tahun lagi aku harus menahan ini. Aku merasa bahwa itu tidak
akan berhenti sampai kamu dibebaskan. Orang-orang gila itu tidak akan berhenti
sampai apa yang kamu lakukan dibayar dengan harga yang sama, Kak. Apa kamu
tahu, Kak? Yang mereka inginkan adalah nyawamu!” Jeana tertawa sarkas dan
melanjutkan ucapannya dengan air mata yang sudah tak terbendung lagi. “Kenapa
harus diriku yang terkena getahnya? Kenapa kamu harus menyeretku dalam
masalahmu, Kak?! Aku juga ingin hidup damai! Aku ingin seperti teman-temanku
yang pulang disambut oleh makanan enak dan televisi yang menayangkan siaran
favorit mereka! Apa sesusah itu bagiku untuk hidup seperti itu?! Hah?!”Jeana
mulai bicara dengan menggebu-gebu dan menunjuk-nunjuk wajahnya yang penuh luka.
“Lihat, Kak! Lihat ini!” Merasa tidak mendapatkan reaksi dari Juniel, Jeana
bergerak maju dan menarik kerah seragam penjara Juniel kuat-kuat. Tatapan
matanya sangat marah dan napasnya memburu. “Lihat wajahku, Kak Juniel!” paksa
Jeana yang terus menarik kerah baju kakaknya itu. Juniel yang telah terpojok,
mengangkat wajahnya perlahan untuk melihat wajah adiknya. Ia bisa melihat wajah
cantik Jeana dipenuhi luka yang tak pernah ia harapkan adiknya dapatkan. Rasa
bersalah Juniel semakin membesar tatkala kedua netranya memindai wajah Jeana
sepenuhnya. “Ini yang aku dapatkan dari tindakanmu yang sembrono itu! Lima
tahun masa hukumanmu tidak akan cukup mengganti semua masa-masa remajaku yang
dipenuhi kesengsaraan!!” maki Jeana yang sudah lepas kendali. “Semua impian
yang sudah aku tata rapi harus hancur lebur setelah kamu mendapat panggilan
sebagai pembunuh hari itu. Kamu yang menyebabkan kehancuran hidupku, Kak,” ujar
Jeana yang suaranya mulai menurun dan bergetar karena tidak kuasa menahan
tangisnya lagi. “Kamu yang membuatku tidak bisa hidup seperti remaja pada
umumnya. Kamu, Kak Juniel.” Pelan-pelan, Juniel melepaskan tangan adiknya yang
berada di kerah bajunya, kemudian menariknya ke dalam dekapannya yang
kehangatannya selalu bisa membuat Jeana tenang. “Maafkan aku, Jeana. Maaf.” Hanya
sebatas kata sederhana ini yang bisa ia ucapkan. Padahal di dalam kepalanya,
ada banyak kalimat yang ingin sekali ia suarakan. Namun, beban dalam hatinya
membuat itu semua tertahan. Jeana yang sudah lepas kendali, secara brutal
mendorong Juniel hingga tubuh tegap pria itu terpental ke belakang dan membuat
kursi yang didudukinya terjatuh. Kedua mata Jeana menggambarkan kekecewaan yang
besar terhadap Juniel. Jeana tidak pernah mengharapkan kata maaf dari sang
kakak, melainkan kejujuran Juniel. Ia sangat kesal saat Juniel menolak
memberikan sanggahan ataupun kata-kata terakhir sebelum hukumannya ditetapkan.
Jeana pun telah bersaksi di pengadilan untuknya, tetapi berakhir sia-sia karena
Juniel menerima tuduhan pembunuhan oleh jaksa penuntut. Jeana tahu bahwa hari
itu, Juniel bukanlah pelaku melainkan korban yang berusaha melindungi dirinya
sendiri. “Terdakwa, apakah kamu menerima tuduhan pembunuhan yang dilayangkankan
oleh Jaksa Yosua?” tanya hakim untuk memastikan kebenaran dari penyelidikan
pihak kepolisian yang diserahkan ke kantor Kejaksaan Jakarta Timur kala itu. Juniel
yang duduk di kursi terdakwa cukup lama terdiam hingga akhirnya bersuara dengan
suara yang rendah, “benar. Aku melakukannya, Yang Mulia Hakim,” dan membuat
Jeana yang duduk di kursi terdepan penonton memasang wajah geram. Ia sangat
marah setelah mendengar ucapan kakaknya yang berbohong itu. Tanpa sadar, Jeana
meremat ujung jaketnya.
“Pak Santos, apakah ada
pernyataan pembelaan?” Pengacara bertubuh gempal yang duduk di samping Juniel menggeleng
dan menjawab, “tidak ada, Yang Mulia,”,“Baiklah. Dengan pengakuan langsung dari
terdakwa, kemudian pernyataan saksi dan bukti-bukti konkret yang telah
didapatkan, terdakwa, Juniel Warton Lim telah melanggar pasal pembunuhan dan
dijatuhi hukuman lima tahun penjara,” ucap akhir dari hakim dan diikuti oleh
suara ketukan palu kayu sebanyak tiga kali. Juniel hanya bisa menunduk dan
tidak berani menatap siapapun yang ada di sekitarnya, bahkan adiknya sendiri
yang sejak tadi sudah menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Jeana
sudah lama mengepal tangannya dengan kencang hingga lipatan-lipatan kulitnya
memutih. Di sisi lain, Jeana juga menyalahkan dirinya sendiri karena memberikan
kesaksian yang justru malah membuat kakaknya tidak dibebaskan dari hukuman. Ia
juga kecewa dengan keputusan kakaknya yang menerima tuduhan terhadapnya dan
tidak meminta keringanan hukuman. Jeana tahu bahwa Juniel lah yang meminta
Santos tidak memberikan pembelaan untuknya. Jeana merasa bahwa ada sesuatu yang
membuat Juniel tak ingin memberikan perlawanan apa pun. Detik itu pula, Jeana
memutuskan untuk mengubah impiannya menjadi sesosok yang mampu membebaskan
kakaknya dari penjara atau siapa pun yang dituduh secara tidak adil atas
kejahatan yang tidak sepenuhnya ia lakukan atau pun tanpa disengaja.
Setelah pertemuan Jeana dengan
kakaknya kemarin, Jeana semakin merasa bahwa impiannya itu harus segera ia
wujudkan. Meskipun ia sadar bahwa impian itu tidak bisa membuat kakaknya
terbebas dari penjara dengan cepat karena ia sendiri pun belum menyelesaikan
masa sekolahnya. Ia sadar kalau butuh waktu untuk menjadi seorang pengacara. Ia
masih memerlukan waktu empat tahun untuk menyelesaikan perkuliahannya di
program studi hukum dan itu masih menjadi rencananya saat ini. Ia tidak tahu apa
yang akan dihadapinya nanti pasca tamat SMA. Jeana duduk di meja belajarnya
sembari menatap papan kayu yang sudah ditempeli banyak kertas dan gambar dengan
aksesoris penempelnya yang ada di hadapannya. Semua coretan itu adalah rencana
masa depan dan impian yang ingin dicapainya. Satu kertas dengan warna mencolok
dan direkatkan dengan sebuah paku khusus menjadi pusat perhatiannya. Kertas itu
bertuliskan ‘lima tahun kemudian menjadi pengacara’ yang ditulis dengan spidol
bertinta kuning menyala. “Jeana, jangan menyerah. Meskipun bukan sekarang kamu
menjadi pengacara, nanti pun bukan masalah. Kak Juniel juga akan pulang empat
tahun lagi. Paling tidak kamu bisa menjadi pengacara untuk orang-orang yang
bernasib sama dengan Kakak,” katanya berbicara sendiri. Jeana berusaha keras
memotivasi dirinya sendiri karena ia tak ingin ada satu orang pun yang bernasib
sama dengan Juniel. Sejujurnya, ia tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannya
pada Juniel kemarin. Ia hanya sedang marah pada dirinya sendiri dan meledak begitu
saja pada kakaknya. Ia juga tidak tahan dengan sikap kakaknya yang tak berubah
setiap kali ia kunjungi di penjara. Ia tak kuat melihat wajah kakaknya yang
muram dan pikirannya yang terus diselimuti oleh rasa bersalah yang begitu
besar.
Kematian sang ayah saat itu
terjadi akibat kesalahan ayah mereka sendiri. Juniel hanya berusaha melindungi
dirinya sendiri dan Jeana dari ayah mereka yang sudah emosi bukan kepalang.
Sudah lama mereka berdua hidup dengan KDRT dari sang ayah yang sering pulang
dalam keadaan amarah yang berapi-api. Itu adalah efek dari stres dan lelah yang
dihadapinya akibat pekerjaan kantor yang tak pernah berhenti menyerangnya. Pun
perasaan kehilangan istrinya yang sulit untuk surut dengan cepat sehingga gelap
mata terhadap anak-anaknya sendiri. Setelah 20 menit merenung dan berwisata
masa lalu, Jeana bangkit dari posisinya dengan sebuah figura yang dipegang
kedua tangan kecilnya. Di dalam figura itu tampil foto dirinya dan Juniel yang
diambil sekitar tujuh tahun yang lalu. Keduanya menampilkan senyuman yang
bahagia di sana. Jeana memandangi foto itu sambil mengusap pelan permukaannya
dengan jempol kanannya. Wajah kakaknya yang ada di dalam foto adalah wajah yang
ia amat rindukan dan ia ingin sekali munculkan kembali. Jeana tak pernah sekalipun
menyalahkan Juniel atas apa yang terjadi pada dirinya setelah kakaknya itu
dipenjara. Teman-teman yang merundung dan memberinya kekerasan di sekolah itu
adalah masalahnya yang tidak boleh sampai diketahui Juniel, bahkan ia tak bisa
mengungkapkan penghinaan yang tiada henti dari keluarga ayahnya terutama sang
nenek yang datang menghantam batinnya selama Juniel tidak berada di sisinya.
Jeana tahu bahwa jika ia mengeluhkan semua itu, wajah Juniel tidak akan bisa
cerah lagi seperti dulu. Jeana dan Juniel memiliki impian yang sama, yaitu
hidup dengan damai dan tenang. Mereka hanya ingin menghangatkan rumah dan diri
mereka sendiri dengan kasih sayang saudara. Sesederhana itu tetapi dunia tidak
dengan mudah merestuinya. Jeana tak kuasa lagi menahan tangisnya dan suara
isakan lolos begitu saja. Tetesan air matanya mengenai figura yang dipegangnya.
Ia sangat marah pada dirinya sendiri dan nasib yang menimpa keluarganya. Remaja
yang hidup dengan kehidupan yang hancur cocok disematkan di belakang namanya.
Akhirnya Juniel bisa menghirup
udara segar kebebasan yang selama ini sudah ia nantikan. Tidak terasa delapan
tahun ia mampu lewati tanpa masalah di dalam penjara. Juniel ingin segera
mewujudkan impian yang selama ini ia rajut di balik jeruji besi. Ia harus mulai
mencari pekerjaan yang bisa membuatnya terus memenuhi kebutuhan sehari-hari
dirinya dan adiknya. Sekarang ia tak ingin gentar dalam berusaha meskipun ia
sadar betul bahwa statusnya sebagai mantan narapidana akan dengan mudah
terlihat oleh orang-orang. Ia tidak lagi ingin membebani dirinya dengan
ketakutan semacam itu. Pintu besi raksasa yang mejadi gerbang utama untuk masuk
ke area penjara baru saja ditutup setelah Juniel melangkah keluar. Ia menghirup
udara segar kebebasan cukup lama. Dengan sebuah tas jinjing hitam di tangan
kanannya, ia melangkah tanpa beban menjauhi gerbang penjara. Namun, ia
terdistraksi oleh sebuah mobil sedan hitam yang berada tak jauh darinya. Tanpa
ada keraguan di benaknya, ia menuju kea rah mobil tersebut yang ternyata sudah sejak
tadi menunggunya di sana. Saat sampai di sisi kiri mobil, kaca penumpang
diturunkan secara mendadak. Juniel tak bisa menyembunyikan keterkejutannya
terhadap sesosok yang ia lihat di hadapannya. Sesosok pria bersetelan jas
formal berwarna hitam legam dan memakai kacamata hitam. Dari postur duduknya,
Juniel bisa menebak bentuk tubuh pria itu yang tinggi tegap dan pembawaannya
yang berwibawa. Tak ada basa-basi, pria itu memberikan sebuah kartu nama kepada
Juniel. “Richard Kartawijaya,” baca Juniel dengan suara pelan. “Hubungi nomor
itu saat kamu membutuhkan pekerjaan. Mungkin kamu agak terkejut dengan tawaran
ini, namun kamu bukanlah satu-satunya mantan narapidana yang aku tawari
pekerjaan seperti ini. Aku sudah berkali-kali menghampiri tempat ini dengan waktu
yang tepat pula sehingga tidak ada kesempatan yang lewat dariku. Ku harap kamu
tidak menyia-nyiakan kesempatan ini karena penyesalan itu bisa datang kapan
saja.” Juniel hanya bisa melongo mendengar ucapan pria yang diketahui bernama
Richard tersebut. Meski Juniel bisa menebak latar belakang Richard yang pasti
berasal dari keluarga konglomerat, ia malah tidak bisa menebak pekerjaan macam
apa yang akan didapatkannya ketika ia menerima tawaran tersebut. Jauh di lubuk
hati Juniel, ia benar-benar ingin mewujudkan impiannya dengan cepat yaitu
membahagiakan Jeana dengan hasil jerih payahnya sendiri. Oleh karena itu, hati
dan pikirannya sedang bergulat sengit sekarang. Pikirannya merasa bahwa tawaran
tersebut bisa saja memiliki banyak risiko, namun hatinya malah ingin menerima
tawaran tersebut tanpa mempedulikan bentuk pekerjaan dan hasil yang diterimanya
nanti. Pada akhirnya, hatinya lah yang menang karena sisi seorang kakak yang
ada di dalamnya tidak peduli pada apapun demi kebahagiaan adik tercintanya. Juniel
pikir Richard sudah pergi meninggalkannya setelah menyerahkan katu identitasnya
dan berkata panjang lebar padanya, ternyata tidak. Richard masih menunggu di
tempat yang sama. Richard sepertinya sudah tahu bahwa selalu akan ada perang
internal di dalam diri orang-orang yang ia tawari pekerjaan. Richard bahkan
sengaja tidak menyebutkan jenis pekerjaan apa yang ia akan berikan dan hasil
yang bisa didapatkan dari pekerjaan tersebut. Richard adalah contoh pengusaha
yang melihat nilai dan potensi seseorang dibandingkan menebarkan janji untuk
menarik sang calon pekerja. Siapa saja yang melihatnya saat ini pasti tidak
bisa berlama-lama untuk menentukan pilihan. Aura mengintimidasinya begitu kuat.
Juniel bisa merasakannya saat ini. “Baiklah. Apa jenis pekerjaan yang akan aku
lakukan? Apakah itu berbahaya?” tanya Juniel memastikan sekaligus menguatkan
pilihannya sendiri. “Masuklah ke dalam mobil. Aku akan menjelaskannya sampai ke
lokasi kamu akan bekerja,” jawab Richard dengan tegas. Juniel begitu terbuai
oleh raut wajah Richard yang tidak menampakkan sedikit pun kerutan kebohongan
sehingga ia dengan begitu mudah menggerakkan tubuhnya untuk masuk ke dalam
mobil Richard. Selama di perjalanan, keduanya benar-benar hening. Juniel tidak
berani menggerakkan tubuhnya sedikit pun karena duduk bersebalahan dengan
Richard sama seperti duduk di sebelah seorang pembunuh sadis, sangat
terintimidasi. Akhirnya mereka sampai di sebuah gudang lusuh yang cukup besar.
Dengan wajah yang terheran-heran, Juniel keluar dari mobil bersamaan dengan
Richard. Tiba-tiba saja keraguan muncul dalam dirinya. Juniel merasa bahwa ada
yang aneh dari pekerjaan yang ditawarkan oleh Richard. Untuk pertama kalinya,
ia merasa telah membuat keputusan yang salah besar. Richard yang terus
memperhatikan gerak-gerik Juniel, tersenyum dan merangkul pundak lebar Juniel. “Ini
bukan sembarang gudang. Di sini lah nanti kamu akan membantuku mendistribusikan
organ manusia yang ku jual di pasar gelap. Untuk bisa menghasilkan uang yang
melimpah, kamu pasti akan menemukan jalan pintas yang menguntungkan.
Pekerjaan-pekerjaan mudah di tempat ini saja sudah cukup untuk membuatmu mampu
membeli satu gedung apartemen di pusat Jakarta. Bagaimana? Tertarik?”Juniel
tidak bisa mengontrol wajahnya untuk tidak terkesiap setelah mendengar semua
itu. Ini bukan yang ia harapkan. Juniel sangat amat menyesalinya. “Pilihanmu
hanya dua setelah sampai di sini. Kamu mau menjadi pekerja atau yang
dikerjakan?” desak Richard dengan sorot matanya yang tajam. “Aku akan menjadi
pekerja di sini, namun kamu harus membayarku dengan bayaran yang sepadan.” Richard
kembali tersenyum. “Kamu akan dapatkan
yang kamu mau dengan mudah. Aku tidak akan mempersulitmu,”,“Baiklah. Terima
kasih, Bos.” Richard menepuk pundak Juniel, lalu memanggil anak buah yang
diduga sebagai pemimpin dari kelompok distribusi dan memintanya untuk
mengenalkan Juniel pada pekerjaan yang akan dilakukannya tanpa cuti ataupun
pensiun. Ya, tanpa sadar Juniel sudah menjual dirinya pada Richard demi
mewujudkan impiannya. Juniel sudah tidak bisa mundur lagi dan terpaksa menerima
pekerjaan yang diberikan Richard padanya. Ia kira ia sudah menemukan jalan
untuk meraih impiannya, ternyata ia malah dilumpuhkan oleh keadaan yang
membuatnya harus melewati jalan pintas yang berduri. Inilah sebabnya ketika
merajut asa, hati dan pikiran harus lah sejalan. Jika terbutakan oleh hati,
semua yang berbahaya akan diterjang agar apa yang hati inginkan dapat tercapai.
Impian yang didasarkan dalam hati hanya akan membawamu pada dua kemungkinan,
petaka atau bahagia. Sayangnya, yang sering terjadi adalah petaka.
Posting Komentar untuk "Asa dari Jeruji Besi - Fiora Trisyawalika Agvieni (LCPC 14 Cerpen)"