Mau Ikut Lomba Menulis Gratis? Daftar Sekarang!

Asa dari Jeruji Besi - Fiora Trisyawalika Agvieni (LCPC 14 Cerpen)

Admin

 


“Asa dari Jeruji Besi”

Fiora Trisyawalika Agvieni


Dinginnya tembok penjara tidak mudah dipaparkan oleh rangkaian kata apapun. Juniel tidak dapat mengatakan apa yang ia rasakan setelah tinggal di balik jeruji besi selama kurang lebih empat tahun kepada siapapun yang datang mengunjunginya. Juniel pernah berharap beberapa kali bahwa kejahatan yang dituduhkan padanya itu tidak benar-benar ia lakukan. Namun, hari itu ia jelas melihat dirinya sendiri sedang memegang pisau dapur berlumuran darah di tangan kanannya. Siapa saja yang melihat penampilannya saat itu pasti sudah langsung meneriakinya dengan sebutan pembunuh. Juniel benar-benar tidak bisa menyangkal lebih lama lagi karena ia sendiri juga kebingungan dan tidak bisa membuktikan dirinya tidak bersalah. Terlebih mayat yang tergeletak di depannya adalah mayat ayahnya sendiri. Akan ada banyak dugaan yang bisa menjadi motifnya melakukan pembunuhan terhadap ayah kandungnya tersebut. Hubungannya pun dengan sang ayah tidak selalu baik sejak kepergian ibunya lima tahun yang lalu.  Juniel sudah lama kehilangan harapan dan terlalu takut untuk memikirkan masa depan yang pastinya tidak akan berjalan dengan mudah baginya. Catatan kriminal akan terus mengikuti identitas pribadinya. Dunia itu adalah tempat tergelap dan berbahaya untuk sekedar meletakkan pelita harapan yang cahayanya tak lebih baik dari sebatang lilin. Juniel terlanjur pesimis dengan keadaannya walau ia tahu bahwa sisa masa hukumannya hampir selesai. Paling tidak ia memiliki satu tahun untuk menata kehidupannya pasca keluar dari penjara. Juniel sudah tahu bahwa rencana untuk mulai mengejar impiannya hanyalah sebatas rencana yang hasil akhirnya akan tetap sama seperti yang ia pikirkan selama ini.

Sudah sekitar sepuluh menit Juniel duduk diam di bawah sebuah pohon yang berada di sudut kiri lapangan penjara. Matanya yang terpejam dan deruan angin yang menerpa dedaunan dari pohon tersebut membuatnya merajut secercah impian di dalam kepalanya. Narapidana tetaplah manusia biasa. Para pelaku kriminal pun memiliki masa lalu dan masa depan. Juniel adalah salah satunya. Tidak ada yang salah dari bermimpi untuk kehidupannya yang baru. Ia hanya menginginkan sebuah pekerjaan tetap dan gaji yang stabil untuk menghidupi dirinya dan adik perempuannya yang sekarang masih SMA. Impian sederhana itu terkadang hanyut ditelan ketakutan Juniel tentang kesulitan yang bisa ia hadapi dalam usahanya meraih impian tersebut karena statusnya yang merupakan seorang mantan narapidana. Setelah satu tahun berikutnya, ia harus berusaha keras untuk bertahan hidup dan menghidupi Jeana yang masih dalam tanggungannya hingga gadis ceria itu menikah nanti. Ah tidak, Juniel terlalu menyedihkan untuk disebut sebagai kakak yang baik bagi adiknya. “Hei! Tuan 2541, ada kunjungan,” sahut seorang sipir secara tiba-tiba. Juniel membuka matanya dan berdiri tanpa semangat karena merasa mimpi indah yang baru saja ia rasakan menghilang bersamaan dengan masuknya cahaya matahari ke dalam matanya. Mimpi indah dimana ia dan Jeana hidup damai di sebuah rumah sederhana, lalu tertawa berdua bersama makanan enak yang tertata di hadapannya. Juniel merasa bahwa mimpi itu cukup berharga baginya meskipun ia tahu bahwa harga untuk mewujudkannya pun tidak murah. Sesampainya di ruangan kunjungan, Juniel melihat wajah adiknya yang begitu ia sayangi kehilangan cahayanya. Terdapat luka dan perban yang menempel di sekitar dagu dan pipi Jeana. Juniel tidak dapat menyembunyikan perasaan bersalahnya setelah menyaksikan kondisi wajah Jeana yang tidak sekali dua kali ia lihat. Juniel benar-benar tidak berdaya dan hanya bisa menunduk meratapi nasib malangnya. Jeana hanya duduk diam dengan kedua mata yang mulai tergenang air mata. Di bawah meja, kedua tangan Jeana terkepal kuat di atas kedua lututnya. Ada rasa sakit yang mati-matian ia tahan dan ada ribuan keluhan yang ingin sekali ia tumpahkan pada orang yang duduk di hadapannya saat ini. Tetapi, Jeana satu tipe dengan Juniel yang senang menahan gemuruh di dalam hatinya sendirian.

“Apa kabar, Dik?” Jeana menggeleng kecil, lalu tersenyum lemah. “Aku selalu berusaha terlihat baik-baik saja di depanmu, ‘kan. Ini yang aku benci dari dirimu, Kak. Kamu membuatku terseret dalam situasi yang hampir membunuhku. Kamu pikir aku akan terus berkata ‘aku baik-baik saja, Kak’ dengan senyuman lebar seperti yang selalu kamu harapkan? Tidak! Aku akui bahwa diriku lemah dan sejak kamu masuk ke sini, aku semakin mudah ditindas. Lucu, bukan?” Mendengar itu, satu tetes air mata jatuh dari sudut kiri mata Juniel. Rasa sakit adiknya bisa ia rasakan tanpa perlu melihatnya. Puluhan ribu kata maaf pun tidak akan pernah cukup untuk menyembuhkan luka batin dan fisik Jeana. Juniel tidak berani mengangkat wajahnya untuk menatap adiknya. Ia sangat bersalah atas kondisi adiknya tersebut. “Empat tahun lagi aku harus menahan ini. Aku merasa bahwa itu tidak akan berhenti sampai kamu dibebaskan. Orang-orang gila itu tidak akan berhenti sampai apa yang kamu lakukan dibayar dengan harga yang sama, Kak. Apa kamu tahu, Kak? Yang mereka inginkan adalah nyawamu!” Jeana tertawa sarkas dan melanjutkan ucapannya dengan air mata yang sudah tak terbendung lagi. “Kenapa harus diriku yang terkena getahnya? Kenapa kamu harus menyeretku dalam masalahmu, Kak?! Aku juga ingin hidup damai! Aku ingin seperti teman-temanku yang pulang disambut oleh makanan enak dan televisi yang menayangkan siaran favorit mereka! Apa sesusah itu bagiku untuk hidup seperti itu?! Hah?!”Jeana mulai bicara dengan menggebu-gebu dan menunjuk-nunjuk wajahnya yang penuh luka. “Lihat, Kak! Lihat ini!” Merasa tidak mendapatkan reaksi dari Juniel, Jeana bergerak maju dan menarik kerah seragam penjara Juniel kuat-kuat. Tatapan matanya sangat marah dan napasnya memburu. “Lihat wajahku, Kak Juniel!” paksa Jeana yang terus menarik kerah baju kakaknya itu. Juniel yang telah terpojok, mengangkat wajahnya perlahan untuk melihat wajah adiknya. Ia bisa melihat wajah cantik Jeana dipenuhi luka yang tak pernah ia harapkan adiknya dapatkan. Rasa bersalah Juniel semakin membesar tatkala kedua netranya memindai wajah Jeana sepenuhnya. “Ini yang aku dapatkan dari tindakanmu yang sembrono itu! Lima tahun masa hukumanmu tidak akan cukup mengganti semua masa-masa remajaku yang dipenuhi kesengsaraan!!” maki Jeana yang sudah lepas kendali. “Semua impian yang sudah aku tata rapi harus hancur lebur setelah kamu mendapat panggilan sebagai pembunuh hari itu. Kamu yang menyebabkan kehancuran hidupku, Kak,” ujar Jeana yang suaranya mulai menurun dan bergetar karena tidak kuasa menahan tangisnya lagi. “Kamu yang membuatku tidak bisa hidup seperti remaja pada umumnya. Kamu, Kak Juniel.” Pelan-pelan, Juniel melepaskan tangan adiknya yang berada di kerah bajunya, kemudian menariknya ke dalam dekapannya yang kehangatannya selalu bisa membuat Jeana tenang. “Maafkan aku, Jeana. Maaf.” Hanya sebatas kata sederhana ini yang bisa ia ucapkan. Padahal di dalam kepalanya, ada banyak kalimat yang ingin sekali ia suarakan. Namun, beban dalam hatinya membuat itu semua tertahan. Jeana yang sudah lepas kendali, secara brutal mendorong Juniel hingga tubuh tegap pria itu terpental ke belakang dan membuat kursi yang didudukinya terjatuh. Kedua mata Jeana menggambarkan kekecewaan yang besar terhadap Juniel. Jeana tidak pernah mengharapkan kata maaf dari sang kakak, melainkan kejujuran Juniel. Ia sangat kesal saat Juniel menolak memberikan sanggahan ataupun kata-kata terakhir sebelum hukumannya ditetapkan. Jeana pun telah bersaksi di pengadilan untuknya, tetapi berakhir sia-sia karena Juniel menerima tuduhan pembunuhan oleh jaksa penuntut. Jeana tahu bahwa hari itu, Juniel bukanlah pelaku melainkan korban yang berusaha melindungi dirinya sendiri. “Terdakwa, apakah kamu menerima tuduhan pembunuhan yang dilayangkankan oleh Jaksa Yosua?” tanya hakim untuk memastikan kebenaran dari penyelidikan pihak kepolisian yang diserahkan ke kantor Kejaksaan Jakarta Timur kala itu. Juniel yang duduk di kursi terdakwa cukup lama terdiam hingga akhirnya bersuara dengan suara yang rendah, “benar. Aku melakukannya, Yang Mulia Hakim,” dan membuat Jeana yang duduk di kursi terdepan penonton memasang wajah geram. Ia sangat marah setelah mendengar ucapan kakaknya yang berbohong itu. Tanpa sadar, Jeana meremat ujung jaketnya.

“Pak Santos, apakah ada pernyataan pembelaan?” Pengacara bertubuh gempal yang duduk di samping Juniel menggeleng dan menjawab, “tidak ada, Yang Mulia,”,“Baiklah. Dengan pengakuan langsung dari terdakwa, kemudian pernyataan saksi dan bukti-bukti konkret yang telah didapatkan, terdakwa, Juniel Warton Lim telah melanggar pasal pembunuhan dan dijatuhi hukuman lima tahun penjara,” ucap akhir dari hakim dan diikuti oleh suara ketukan palu kayu sebanyak tiga kali. Juniel hanya bisa menunduk dan tidak berani menatap siapapun yang ada di sekitarnya, bahkan adiknya sendiri yang sejak tadi sudah menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Jeana sudah lama mengepal tangannya dengan kencang hingga lipatan-lipatan kulitnya memutih. Di sisi lain, Jeana juga menyalahkan dirinya sendiri karena memberikan kesaksian yang justru malah membuat kakaknya tidak dibebaskan dari hukuman. Ia juga kecewa dengan keputusan kakaknya yang menerima tuduhan terhadapnya dan tidak meminta keringanan hukuman. Jeana tahu bahwa Juniel lah yang meminta Santos tidak memberikan pembelaan untuknya. Jeana merasa bahwa ada sesuatu yang membuat Juniel tak ingin memberikan perlawanan apa pun. Detik itu pula, Jeana memutuskan untuk mengubah impiannya menjadi sesosok yang mampu membebaskan kakaknya dari penjara atau siapa pun yang dituduh secara tidak adil atas kejahatan yang tidak sepenuhnya ia lakukan atau pun tanpa disengaja.

Setelah pertemuan Jeana dengan kakaknya kemarin, Jeana semakin merasa bahwa impiannya itu harus segera ia wujudkan. Meskipun ia sadar bahwa impian itu tidak bisa membuat kakaknya terbebas dari penjara dengan cepat karena ia sendiri pun belum menyelesaikan masa sekolahnya. Ia sadar kalau butuh waktu untuk menjadi seorang pengacara. Ia masih memerlukan waktu empat tahun untuk menyelesaikan perkuliahannya di program studi hukum dan itu masih menjadi rencananya saat ini. Ia tidak tahu apa yang akan dihadapinya nanti pasca tamat SMA. Jeana duduk di meja belajarnya sembari menatap papan kayu yang sudah ditempeli banyak kertas dan gambar dengan aksesoris penempelnya yang ada di hadapannya. Semua coretan itu adalah rencana masa depan dan impian yang ingin dicapainya. Satu kertas dengan warna mencolok dan direkatkan dengan sebuah paku khusus menjadi pusat perhatiannya. Kertas itu bertuliskan ‘lima tahun kemudian menjadi pengacara’ yang ditulis dengan spidol bertinta kuning menyala. “Jeana, jangan menyerah. Meskipun bukan sekarang kamu menjadi pengacara, nanti pun bukan masalah. Kak Juniel juga akan pulang empat tahun lagi. Paling tidak kamu bisa menjadi pengacara untuk orang-orang yang bernasib sama dengan Kakak,” katanya berbicara sendiri. Jeana berusaha keras memotivasi dirinya sendiri karena ia tak ingin ada satu orang pun yang bernasib sama dengan Juniel. Sejujurnya, ia tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannya pada Juniel kemarin. Ia hanya sedang marah pada dirinya sendiri dan meledak begitu saja pada kakaknya. Ia juga tidak tahan dengan sikap kakaknya yang tak berubah setiap kali ia kunjungi di penjara. Ia tak kuat melihat wajah kakaknya yang muram dan pikirannya yang terus diselimuti oleh rasa bersalah yang begitu besar.

Kematian sang ayah saat itu terjadi akibat kesalahan ayah mereka sendiri. Juniel hanya berusaha melindungi dirinya sendiri dan Jeana dari ayah mereka yang sudah emosi bukan kepalang. Sudah lama mereka berdua hidup dengan KDRT dari sang ayah yang sering pulang dalam keadaan amarah yang berapi-api. Itu adalah efek dari stres dan lelah yang dihadapinya akibat pekerjaan kantor yang tak pernah berhenti menyerangnya. Pun perasaan kehilangan istrinya yang sulit untuk surut dengan cepat sehingga gelap mata terhadap anak-anaknya sendiri. Setelah 20 menit merenung dan berwisata masa lalu, Jeana bangkit dari posisinya dengan sebuah figura yang dipegang kedua tangan kecilnya. Di dalam figura itu tampil foto dirinya dan Juniel yang diambil sekitar tujuh tahun yang lalu. Keduanya menampilkan senyuman yang bahagia di sana. Jeana memandangi foto itu sambil mengusap pelan permukaannya dengan jempol kanannya. Wajah kakaknya yang ada di dalam foto adalah wajah yang ia amat rindukan dan ia ingin sekali munculkan kembali. Jeana tak pernah sekalipun menyalahkan Juniel atas apa yang terjadi pada dirinya setelah kakaknya itu dipenjara. Teman-teman yang merundung dan memberinya kekerasan di sekolah itu adalah masalahnya yang tidak boleh sampai diketahui Juniel, bahkan ia tak bisa mengungkapkan penghinaan yang tiada henti dari keluarga ayahnya terutama sang nenek yang datang menghantam batinnya selama Juniel tidak berada di sisinya. Jeana tahu bahwa jika ia mengeluhkan semua itu, wajah Juniel tidak akan bisa cerah lagi seperti dulu. Jeana dan Juniel memiliki impian yang sama, yaitu hidup dengan damai dan tenang. Mereka hanya ingin menghangatkan rumah dan diri mereka sendiri dengan kasih sayang saudara. Sesederhana itu tetapi dunia tidak dengan mudah merestuinya. Jeana tak kuasa lagi menahan tangisnya dan suara isakan lolos begitu saja. Tetesan air matanya mengenai figura yang dipegangnya. Ia sangat marah pada dirinya sendiri dan nasib yang menimpa keluarganya. Remaja yang hidup dengan kehidupan yang hancur cocok disematkan di belakang namanya.

Akhirnya Juniel bisa menghirup udara segar kebebasan yang selama ini sudah ia nantikan. Tidak terasa delapan tahun ia mampu lewati tanpa masalah di dalam penjara. Juniel ingin segera mewujudkan impian yang selama ini ia rajut di balik jeruji besi. Ia harus mulai mencari pekerjaan yang bisa membuatnya terus memenuhi kebutuhan sehari-hari dirinya dan adiknya. Sekarang ia tak ingin gentar dalam berusaha meskipun ia sadar betul bahwa statusnya sebagai mantan narapidana akan dengan mudah terlihat oleh orang-orang. Ia tidak lagi ingin membebani dirinya dengan ketakutan semacam itu. Pintu besi raksasa yang mejadi gerbang utama untuk masuk ke area penjara baru saja ditutup setelah Juniel melangkah keluar. Ia menghirup udara segar kebebasan cukup lama. Dengan sebuah tas jinjing hitam di tangan kanannya, ia melangkah tanpa beban menjauhi gerbang penjara. Namun, ia terdistraksi oleh sebuah mobil sedan hitam yang berada tak jauh darinya. Tanpa ada keraguan di benaknya, ia menuju kea rah mobil tersebut yang ternyata sudah sejak tadi menunggunya di sana. Saat sampai di sisi kiri mobil, kaca penumpang diturunkan secara mendadak. Juniel tak bisa menyembunyikan keterkejutannya terhadap sesosok yang ia lihat di hadapannya. Sesosok pria bersetelan jas formal berwarna hitam legam dan memakai kacamata hitam. Dari postur duduknya, Juniel bisa menebak bentuk tubuh pria itu yang tinggi tegap dan pembawaannya yang berwibawa. Tak ada basa-basi, pria itu memberikan sebuah kartu nama kepada Juniel. “Richard Kartawijaya,” baca Juniel dengan suara pelan. “Hubungi nomor itu saat kamu membutuhkan pekerjaan. Mungkin kamu agak terkejut dengan tawaran ini, namun kamu bukanlah satu-satunya mantan narapidana yang aku tawari pekerjaan seperti ini. Aku sudah berkali-kali menghampiri tempat ini dengan waktu yang tepat pula sehingga tidak ada kesempatan yang lewat dariku. Ku harap kamu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini karena penyesalan itu bisa datang kapan saja.” Juniel hanya bisa melongo mendengar ucapan pria yang diketahui bernama Richard tersebut. Meski Juniel bisa menebak latar belakang Richard yang pasti berasal dari keluarga konglomerat, ia malah tidak bisa menebak pekerjaan macam apa yang akan didapatkannya ketika ia menerima tawaran tersebut. Jauh di lubuk hati Juniel, ia benar-benar ingin mewujudkan impiannya dengan cepat yaitu membahagiakan Jeana dengan hasil jerih payahnya sendiri. Oleh karena itu, hati dan pikirannya sedang bergulat sengit sekarang. Pikirannya merasa bahwa tawaran tersebut bisa saja memiliki banyak risiko, namun hatinya malah ingin menerima tawaran tersebut tanpa mempedulikan bentuk pekerjaan dan hasil yang diterimanya nanti. Pada akhirnya, hatinya lah yang menang karena sisi seorang kakak yang ada di dalamnya tidak peduli pada apapun demi kebahagiaan adik tercintanya. Juniel pikir Richard sudah pergi meninggalkannya setelah menyerahkan katu identitasnya dan berkata panjang lebar padanya, ternyata tidak. Richard masih menunggu di tempat yang sama. Richard sepertinya sudah tahu bahwa selalu akan ada perang internal di dalam diri orang-orang yang ia tawari pekerjaan. Richard bahkan sengaja tidak menyebutkan jenis pekerjaan apa yang ia akan berikan dan hasil yang bisa didapatkan dari pekerjaan tersebut. Richard adalah contoh pengusaha yang melihat nilai dan potensi seseorang dibandingkan menebarkan janji untuk menarik sang calon pekerja. Siapa saja yang melihatnya saat ini pasti tidak bisa berlama-lama untuk menentukan pilihan. Aura mengintimidasinya begitu kuat. Juniel bisa merasakannya saat ini. “Baiklah. Apa jenis pekerjaan yang akan aku lakukan? Apakah itu berbahaya?” tanya Juniel memastikan sekaligus menguatkan pilihannya sendiri. “Masuklah ke dalam mobil. Aku akan menjelaskannya sampai ke lokasi kamu akan bekerja,” jawab Richard dengan tegas. Juniel begitu terbuai oleh raut wajah Richard yang tidak menampakkan sedikit pun kerutan kebohongan sehingga ia dengan begitu mudah menggerakkan tubuhnya untuk masuk ke dalam mobil Richard. Selama di perjalanan, keduanya benar-benar hening. Juniel tidak berani menggerakkan tubuhnya sedikit pun karena duduk bersebalahan dengan Richard sama seperti duduk di sebelah seorang pembunuh sadis, sangat terintimidasi. Akhirnya mereka sampai di sebuah gudang lusuh yang cukup besar. Dengan wajah yang terheran-heran, Juniel keluar dari mobil bersamaan dengan Richard. Tiba-tiba saja keraguan muncul dalam dirinya. Juniel merasa bahwa ada yang aneh dari pekerjaan yang ditawarkan oleh Richard. Untuk pertama kalinya, ia merasa telah membuat keputusan yang salah besar. Richard yang terus memperhatikan gerak-gerik Juniel, tersenyum dan merangkul pundak lebar Juniel. “Ini bukan sembarang gudang. Di sini lah nanti kamu akan membantuku mendistribusikan organ manusia yang ku jual di pasar gelap. Untuk bisa menghasilkan uang yang melimpah, kamu pasti akan menemukan jalan pintas yang menguntungkan. Pekerjaan-pekerjaan mudah di tempat ini saja sudah cukup untuk membuatmu mampu membeli satu gedung apartemen di pusat Jakarta. Bagaimana? Tertarik?”Juniel tidak bisa mengontrol wajahnya untuk tidak terkesiap setelah mendengar semua itu. Ini bukan yang ia harapkan. Juniel sangat amat menyesalinya. “Pilihanmu hanya dua setelah sampai di sini. Kamu mau menjadi pekerja atau yang dikerjakan?” desak Richard dengan sorot matanya yang tajam. “Aku akan menjadi pekerja di sini, namun kamu harus membayarku dengan bayaran yang sepadan.” Richard kembali tersenyum.  “Kamu akan dapatkan yang kamu mau dengan mudah. Aku tidak akan mempersulitmu,”,“Baiklah. Terima kasih, Bos.” Richard menepuk pundak Juniel, lalu memanggil anak buah yang diduga sebagai pemimpin dari kelompok distribusi dan memintanya untuk mengenalkan Juniel pada pekerjaan yang akan dilakukannya tanpa cuti ataupun pensiun. Ya, tanpa sadar Juniel sudah menjual dirinya pada Richard demi mewujudkan impiannya. Juniel sudah tidak bisa mundur lagi dan terpaksa menerima pekerjaan yang diberikan Richard padanya. Ia kira ia sudah menemukan jalan untuk meraih impiannya, ternyata ia malah dilumpuhkan oleh keadaan yang membuatnya harus melewati jalan pintas yang berduri. Inilah sebabnya ketika merajut asa, hati dan pikiran harus lah sejalan. Jika terbutakan oleh hati, semua yang berbahaya akan diterjang agar apa yang hati inginkan dapat tercapai. Impian yang didasarkan dalam hati hanya akan membawamu pada dua kemungkinan, petaka atau bahagia. Sayangnya, yang sering terjadi adalah petaka.


 

Posting Komentar

Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.