Emperor
Olyvia Z
Perebutan kekuasaan merajalela.
Manusia-manusia tak berdosa mati sia-sia. Dunia hancur meluluh lantah. Hanya menyisakan
kerajaan timur yang bertahan dengan kemenangannya. Yang kini terancam adalah
raja. Dunia bagaikan neraka. Tak ada kedamaian dan keceriaan. Hanya
bersisakan rasa was-was yang selalu memenuhi jiwa dan raga.
“Ibu, apakah ayah akan tetap bertahan diposisinya?” Pertanyaan sang anak
membuat sang ibu terdiam. “Maafkan
ibu nak, Sebenarnya ibu pun menginginkan jabatan ayahmu,” ucap sang ibu dalam hatinya. Sang anak
pun berlari menuju kamarnya dan kembali merenung diri.
Suara burung berciut ria. Dahan
menari -nari bersama alunan lagu yang dibawakan oleh para burung kecil. Angin
berhembus sepoi –sepoi. Landra sang putra mahkota akhirnya terbangun dari
mimpinya yang indah. Kemudian, ia membuka jendela kamarnya, tetapi sesuatu
menghantam kepalanya. Bruk...! Ia terjengkang, terjatuh, dan terlentang di lantai kamarnya
yang mewah dan megah. “Duh, apa ini?” dirabanya benda tersebut. “Terbungkus kain! apa aku
coba buka saja ya?” Ia membuka bungkusan kain itu. “Peti!” apa ini peti harta
karun?” Dengan buru-buru Landra membuka peti berukir indah tersebut yang ada di hadapannya.
Namun, usahanya nihil. Peti itu sama sekali tidak terbuka sedikitpun.
Landra tak menyerah, dicarinya benda-benda yang dirasanya bisa membuka peti
tersebut mulai dari kamarnya hingga ke seluruh penjuru istana. Setelah mendapatkan apa
yang dibutuhkannya, ia kembali ke kamarnya berharap dapat membuka peti tersebut.
Langkahnya terhenti oleh sesuatu. Peti itu hilang dan hanya menyisakan sebuah
kertas bertuliskan “Kemenangan
sesungguhnya adalah sebuah kedamaian. Jika kau ingin mendapatkan peti tersebut
berdamailah dengan sesuatu.” Disisi lain sang ibu sedang memutar otak untuk
mendapatkan kekuasaan suaminya. Lalu sesuatu menghampiri benaknya. “Pesta! jika semua
orang sibuk dengan pesta akan dengan mudah aku membunuh suamiku dan mendapatkan
kekuasaan sepenuhnya.” Ia tersenyum menyeringai. “Pelayan, adakan pesta besar-besaran malam
ini, undang semua rakyatku!” titahnya pada sang dayang isatna yang menjadi
tangan kanannya. “Baik, ratu Marianne.” Analle segera berlari menuju kantor utama pelayan
istana dan menyebarkan berita tersebut. Sore ini begitu ramai di istana. Para
pelayan istana sibuk dengan persiapan pesta yang akan diadakan ratu. Namun,
tidak dengan Analle. Diam-diam ia menuju ke dapur istana membuatkan teh hangat untuk
sang ratu. Ia berjalan dengan senyum merekah dan bergumam kecil. “Sebentar lagi
aku akan menjadi ratu.” Ia bersenandung ria.
Malam yang ditunggu-tunggu akhirnya
tiba. Raja Ajoon, ratu Marianne, dan Landra berjalan beriringan menuju altar
utama istana. Tetapi sang raja Ajoon jatuh meninggalka noda darah
tepat di jantung beliau. Sang ratulah penyebabnya. Namun, di detik berikutnya, ratu jatuh pingsan, dan tentunya,
itu adalah ulah dayang istana, Analle. Para rakyat terkejut melihat kejadian
itu. Pesta tersebut hancur berantakan.
Sekarang Landra menggantikan tahta
sang raja. “Sejujurnya aku tak ingin mendapatkan gelar ini, aku tidak mau
menjadi raja. Aku hanya ingin memerintah di daerah yang damai, tidak seperti
ini,” gumamnya. “Kau bisa gunakan kekuasaanmu raja.” Ternyata ia tak sendiri.
Seorang lelaki tua menghampirinya. Tetapi pak tua itu hanya melewatinya dan
menyunggingkan senyumnya untuk Landra. Dimenit berikutnya Landra berlari menuju
balkon utama dan meniup terompet peringatan. Tak butuh waktu lama hingga
seluruh penduduk dan mentri-mentri di daerah kekuasaan Landra berkumpul. “Para
rakyatku yang terhormat. Di sini aku ingin memberitahukan suatu hal yang
penting untuk kalian. Sebelum pesta mengerikan itu terjadi, aku mendapatkan
sebuah peti, namun peti tersebut hilang dan menyisakan sebuah kertas yang
bertuliskan bahwa kemenangan sesungguhnya adalah kedamaian. Aku berpikir jika
kita semua berdamai peti itu akan kembali. Jika itu benar, aku akan membagi rata
harta yang berada di dalam peti itu pada kalian semua, aku berjanji!” Sorak sorai
penduduk terdengar ke seluruh penjuru daerah. Semua menyetujui usul sang raja.
Tahun demi tahun telah berlalu. Namun, peti itu tak
kunjung kembali. Landra mulai bimbang dan resah. Ia takut kedamaian ini berubah
menjadi kehancuran. “Bagaimana ini? apa yang harus aku lakukan, para rakyat dan
menteri-menteri istana mulai menanyakan peti itu.” Landra berjalan gelisah di
kamarnya. Lalu, seseorang mengetuk pintu kamar Landra. “Masuklah,” ucap Landra.
“Kau gelisah raja?” bicaralah yang sesungguhnya pada rakyat- rakyatmu. Aku
yakin mereka akan percaya.” Setelah mendengar ucapan pak tua yang mendatanginya
kemarin, Landra dengan cekatan mengumpulkan semua rakyatnya. “Wahai rakyatku
tercinta, aku sungguh minta maaf karena peti itu tak pernah kembali sampai
sekarang. Tetapi aku ingin kalian tetap seperti ini. Hidup dengan damai dan
penuh ketentraman. Menyenangkan bukan hidup seperti ini?” Landra mencoba
menyakinkan rakyatnya. Kemudian, setelah mendengar seruan ramai rakyatnya yang
mengiyakan ucapan Landra, ia tersenyum bahagia. Semua rakyat kembali menuju
rumah masing-masing. Sesuatu mengejutkan mereka. Sebongkah emas telah tertata
rapi di masing-masing rumah penduduk desa maupun kota kekuasaan Landra. Semua
bahagia. Ini adalah impian Landra dan pak tua yang hilang entah ke mana setelah
semua kedamaian ini.
Kedamaian bukanlah dari harta benda tetapi kedamaian yang
sejati yaitu ketika kita bersyukur dengan apa yang diberikan Allah SWT kepada
kita.