Mau Ikut Lomba Menulis Gratis? Daftar Sekarang!

Fatamorgana - Oleh: Febriani (LCPC 14 Cerpen)

Admin

 


Fatamorgana

Oleh: Febriani

 

Suara deru ombak terdengar begitu nyata. Ombak pantai yang bergulung-gulung perlahan mengikis pasir pantai. Aku hanya duduk di tepi pantai, tepat menghadap ke arah ombak yang kian datang dan pergi. Seperti harapan yang selalu diharapkan kehadirannya. Aku duduk di temani dengan lagu yang menjadi favoritku. Lagunya berjudul Not About Angels karya Birdy. Setidaknya kali ini tidak terlalu sunyi.

"Kinan!" Terdengar suara teriakan yang ku kenali. Aku berbalik, di sana ada ibuku yang berdiri sambil melambaikan tangan. Ibuku yang bernama Radhiyah. Sontak aku berdiri dan berlari menghampiri ibuku.

"Ayo, kita pulang. Hari sudah mau sore." Ajaknya.

Aku mengangguk sebagai jawaban. Aku dan ibuku berjalan kaki bersama menuju rumah kami yang tidak terlalu jauh dari pantai.

Sesampai di rumah, aku hanya duduk di teras depan rumah. Sambil melihat bunga-bunga. Aku memang hidup berdua dengan ibuku. Karena ayahku telah meninggal 6 tahun yang lalu saat aku masih SMP. Penyebabnya karena serangan jantung.

Hidupku terbilang sederhana. Ibuku yang bekerja sebagai penjual kue. Dan aku sekolah sambil bekerja sebagai pencuci piring di rumah makan. Tetapi, pekerjaan tidak menghambat ku dalam menuntut ilmu. Buktinya aku masih mendapatkan beasiswa di sekolah. Dan ibu berkata untuk selalu bersyukur kepada-Nya. Sebesar dan sekecil apapun nikmat yang di berikan oleh-Nya.

"Kinan." Panggil ibu sambil duduk di sampingku.

"Iya, Ibu." Jawabku.

"Besok ibu mau pergi ke rumah nenekmu beberapa hari. Kamu tidak apakan sendiri di rumah?"

Aku tersenyum, "Tidak apa ibu. Aku kan sudah besar. Bisa menjaga diriku sendiri. Ibu tidak perlu khawatir." Jawabku.

Ibu tersenyum sambil mengelus kepalaku dengan sayang. "Anak ibu yang terbaik."

***

Di sekolah seperti biasanya aku akan belajar dengan serius. Jika saat istirahat aku tidak sempat pergi ke perpustakaan. Aku akan ke kantin sambil membaca buku lewat handphone.

"Kinan, makanlah yang benar. Jangan terlalu serius membaca saat makan." Saran temanku yang bernama Aliza.

"Lihatlah, kamu sekarang  jadi kurus begini. Pasti pola makananmu tidak teratur." Ujar Yusuf yang juga temanku.

Aku mendongak menatap mereka, "Iya." Jawabku sambil mulai serius dengan makananku.

"Kinan, jangan lupa untuk lihat mading. Siapa tahu ada namamu kali ini." Saran Yusuf.

Aku mengingat, memang aku sering mengikuti beberapa lomba menulis di sekolah. Dan lusa adalah pengumumannya. Semoga saja kali ini ada namaku di mading. Jika tidak sebagai juara umum, setidaknya sebagai juara harapan tidak apa.

"Doakan saja." Ujarku.

Selesai dari sekolah, aku langsung bekerja di rumah makan sebagai pencuci piring. Dan kali ini ada banyak piring kotor. Ya, Alhamdulillah pengunjung hari ini banyak yang datang.

Selesai dari mencuci, sebagian piring yang sudah bersih ku angkat dan membawanya untuk di simpan di meja depan. Agar memudahkan pekerja dalam menjalankan tugasnya. Saat di bagian depan aku dapat mendengar beberapa orang berbincang mengenai bisnis. Itu sudah hal lumrah bagiku.

"Kinan, bisa tolong antarkan pesanan ini ke meja nomor 4!" Seru kak Amel selaku pekerja senior.

Aku mengangguk sambil membawa nampan berisikan makanan berat. Selesai dari tugas mengantarkan makanan, aku berbalik menuju bagian belakang untuk menyelesaikan tugasku.

Tetapi, pandanganku beralihkan ke poster yang berisi perlombaan menulis Esay. Dan hadiahnya cukup memuaskan yaitu beasiswa masuk Universitas Negeri.  Sontak aku mengambil handphone yang ada di saku rok ku dan memfotonya.

"Kinan! Selesaikan tugasmu." Tegur Bu Anya selaku bos di tempat ku bekerja. Aku mengganguk sebagai jawaban dan mulai menyelesaikan tugasku dengan cepat.

Malam harinya aku lebih giat dalam belajar. Karena tidak lama lagi akan ada ujian. Dan aku sekalian belajar untuk lomba yang aku lihat tadi siang. Ada banyak buku yang berceceran di meja ruang tamu. Mendakan sebagai bukti banyak buku yang sudah ku pelajari.

Pandanganku teralihkan ketika menyadari hawa di rumahku semakin dingin. Bahkan aku bisa mencium bunga melati yang terasa begitu dekat denganku. Sontak aku memegang tengkuk leherku yang merinding.

Di halaman rumah memang ada banyak tanaman bunga melati. Karena ibuku suka bunga melati. Bahkan ada banyak foto bunga melati yang ada di dinding. Tetapi, kenapa ada bau bunga melati di dekatku?

"Aneh." Lirihku pelan.

Beberapa hari kemudian aku bersemangat seperti biasa saat ke sekolah, dan kali ini lebih semangat. Karena tepat hari ini adalah pengumuman pemenang lomba menulis di sekolah.

Aku berjalan ke arah mading dengan detak jantung yang kian semakin berdetak kuat. Sesampai di depan mading aku segera menutupi wajahku dengan kedua tanganku. Sambil mengatur nafas dan jantungku yang sedang tak karuan.

Perlahan ku buka sedikit tanganku untuk melihat mading. Sontak ku lepaskan tangan dari wajah dan melihat ke arah mading dengan tatapan tak percaya.

"Ternyata...gagal lagi, ya." Gumamku pelan. Dan akhirnya aku berjalan ke kelas dan mengikuti pembelajaran di sekolah dengan lesu. Bahkan di tempat kerja aku juga lesu.

Merasa semangatku telah hilang hanya karena gagal lagi. Tetapi ini cukup membuatku frustasi. Apakah Sang Penguasa tak menyayangiku?

Aku sadar setiap aku mengikuti lomba menulis dan setiap itu juga aku akan gagal. Memikirkannya membuat mataku memanas, tetapi aku tidak boleh menangis.

Bahkan saat di rumah aku hanya duduk termenung di ruang tamu.

Ibu yang melihatku menjadi sedih. "Kinan." Panggilnya.

Aku menoleh dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Inilah kelemahan ku, saat melihat ibu aku jadi merasa sedih. Aku merasa mengecewakan ibu.

"Ibu!" Seruku sambil berlari dan memeluknya erat.

Perlahan ibu juga membalas pelukanku sambil mengelus sayang kepalaku. "Menangislah. Keluarkan saja, sayang."

Aku menggeleng dan mengangguk. Perlahan aku menangis di pelukan ibu. "Aku mengecewakan ibu." Ucapku sambil terisak.

"Tidak sayang. Kamu tidak mengecewakan ibu. Justru ibu bangga sama kamu. Kamu tetap berjuang walau kamu gagal. Itu sudah membuktikan kalau kamu anak yang patut di banggakan." Ujar ibuku sambil tersenyum.

"Tidak apa, sayang. Menangislah. Keluarkan semua emosimu lewat tangisanmu. Kamu tidak cengeng hanya dengan menangis. Dengan menangis bisa meringankan sedikit bebanmu. Setelah itu wudhu lah untuk menyejukkan hatimu, dan berdoalah kepada-Nya untuk meminta pengampunan. Kamu harus ikhlas. Jika gagal kamu harus bangkit lagi. Ibu percaya dengan kamu, karena anak ibu adalah anak yang hebat. Ibu bangga padamu karena sudah berjuang selama ini. Kamu anak kesayangan ibu sama ayah kamu." Jelas ibuku sambil tersenyum.

Ku longgarkan sedikit pelukan dan melihat kearah ibu.

"Berwudhulah, setelah itu makan di meja makan ,ya sayang." Pinta ibuku. Aku mengangguk dan segera pergi berwudhu. Setelah itu aku berjalan ke meja makan.

"Loh ibu di mana?" Tanyaku pada diriku sendiri ketika tidak melihat ibu di meja dapur. Aku segera mencari ibu ke segala sudut rumah, tetapi ibu tetap tidak ada.

"Mungkin ibu pergi ke rumah tetangga." Gumamku.

Ke esokan harinya aku memulai aktivitas di sekolah seperti biasa. Mulai menekuni pembelajaran dengan serius. Bahkan di tempat kerja juga demikian. Aku bekerja lebih semangat dan semangat.

Beberapa hari kemudian saat berjalan ke sekolah. Entah mengapa detak jantungku terasa begitu berdetak kencang. Apakah akan terjadi sesuatu? Dan itu membuatku sedikit takut. Bahkan di tempat kerja detak jantungku masih berdetak kencang.

"Kinan, ayo ikut saya. Ada yang mencarimu." Ajak Bu Anya.

Mendengar itu jantungku semakin berdetak kuat. Apakah aku sakit jantung?

Pandanganku teralihkan kepada beberapa pria paru baya yang mengenakan pakaian serba hitam. Aku duduk dengan gugup di hadapan mereka.

Dengan nona Kinan Divya?" Tanya salah satu dari mereka.

"Iya, dengan saya sendiri." Jawabku pelan.

Pria tersebut tersenyum. "Perkenalkan saya Edgar selaku direktur dari Universitas Negeri. Saya ucapkan selamat kepada nona Kinan yang telah berhasil memenangkan lomba, dan mendapatkan beasiswa untuk masuk universitas. Selain itu, nona juga mendapat bentuk penghargaan berupa piala, sertifikat dan uang saku. Dan di map ini ada beberapa persyaratan administrasi yang harus di isi. Nanti bisa diantarkan ke ruang Biro di kampus. Sekali lagi saya ucapkan selamat." Jelas pria tersebut yang bernama pak Edgar.

Sontak aku bersujud syukur kepada-Nya. Karena berkat-Nya aku bisa menang kali ini. Memang usaha tidak akan mengkhianati hasil. Dengan ini aku bisa mengejar mimpiku lebih dekat lagi.

Aku tersenyum lebar. Setelah itu aku mengucapkan banyak-banyak terimakasih dan meminta izin ke ibu Anya untuk pulang lebih awal. Aku akan memberikan kabar bahagia ini kepada ibu. Pasti ibu sangat senang.

Aku berlari menyusuri jalan dengan senyum bahagia. Bahkan wajahku sudah basah karena air mata. Apakah ini yang dimaksud dengan jantungku yang berdetak kuat seharian ini. Sesampai di halaman rumah detak jantungku masih kuat berdetak.

"Ibu!" Teriakku. Dan aku segera berlari memasuki rumah.

Di dalam rumah, aku berhenti sejenak untuk mengatur nafas dan jantungku akibat berlari terlalu kencang.

"Ibu." Panggilku.

Ku edarkan pandangan setiap sudut rumah, tetapi tidak ada ibu. Aku berjalan menuju kamar ibu, tetapi juga tidak ada ibu. Bahkan kamar ibu terasa dingin seperti tidak pernah di masuki. Ku lihat ada bunga melati di atas meja rias ibu. Ya, ibu masih suka terkadang membawa bunga melati di kamarnya.

"Ibu." Panggilku lagi.

Dan aku melihat ibuku sedang mencuci piring kotor di dapur.

"Ibu!" Seruku sambil memeluk ibuku erat.

"Eh, anak ibu sudah pulang." Ujarnya berbalik dan memeluk erat saling berhadapan. Sambil mengelus kepalaku sayang.

"Ibu, tahu? Alhamdulillah aku menang lomba menulis. Aku menang ibu, dan aku mendapatkan beasiswa masuk universitas." Ujarku bahagia.

Ibuku tersenyum haru, "Wah, anak ibu hebat. Ibu bangga sama kamu sayang."

Aku sedikit melonggarkan pelukan kami. " Tidak hanya itu ibu, aku juga dapat piala, sertifikat dan uang saku. Ayo kita lihat bersama ibu. Pasti ibu suka." Ajakku sambil menggenggam erat tangan ibuku.

Kami berjalan ke ruang tamu. Tempat di mana aku meletakkan hadiahku di sana.

Aku mengambil piala, “Ibu bagus bukan?” Tanyaku sambil berbalik menghadap ibuku. Tetapi, aku terkejut tidak mendapati ibu di hadapanku.

“Ibu... Ibu di mana?”

Aku berjalan menyusuri kembali rumah. Akan tetapi tidak ada. Aku semakin merasa takut, apakah ibu tidak suka dengan piala makanya bersembunyi dariku?

“Ibu!” Teriakku.

Aku keluar dari rumah menuju halaman depan.

“Ibu!” Teriakku kembali.

“Kinan, kamu kenapa?” Tanya Bu Dian tetangga sebelah rumahku.

“Bu Dian liat ibuku, tidak?”

Seketika raut wajah Bu Dian yang tadinya khawatir semakin khawatir. Apakah terjadi sesuatu?

Bu Dian berjalan menghampiriku dan langsung memeluk erat. “Kinan, jangan menyiksa dirimu sendiri. Ibu mohon ikhlaskan.” Ujarnya yang mulai terisak. Mendengar suara tangis mataku perih dan meneteskan air mata.

“Ikhlas.” Beoku.

“Kamu harus ikhlas Kinan. Jangan seperti ini. Ibu mu sudah tenang di sana bersama ayah kamu.” Jelasnya.

Deg.

Perlahan piala yang ada di tanganku terjatuh. Pandangan ku kosong. Memikirkan beberapa ingatan yang terlupakan. Air mata semakin deras membasahi pipiku. Bagaimana aku lupa, jika ibuku sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Mengapa aku lupa dengan kejadiaannya. Lalu, apa yang terjadi? Apakah ini yang dinamakan fatamorgana?

Perlahan kepalaku mulai memberat dengan mataku yang mulai memburam hingga semuanya  menggelap.

***

Aku duduk di pesisir pantai. Menghadap langsung deburan ombak yang terlihat bergelombang. Inilah kenyataannya, aku terlalu stres saat kepergian ibu. Hingga aku selalu memimpikan ibu yang memang masih ada. Pada kenyataannya semua mimpi yang ku lalui, hanya seorang diri. Tanpa ibu. Lantas mengapa aku terbangun. Aku hanya ingin bermimpi dengan masih adanya ibu.

Bagiku mimpi adalah harapan. Bahkan aku pernah mendengar bahwa “Mimpi adalah pekerjaan yang sangat mudah dan tidak perlu biaya mahal. Tetapi, aku salah dalam memimpikan yang satu ini. Aku salah bermimpi yang tiada ku adakan. Sungguh gila diriku ini.

“Aku harus ikhlas, bukan?” Tanyaku pada diri sendiri.

Perlahan senyuman hadir di wajahku. Memang seharusnya, aku harus ikhlas. Jika aku tidak bangkit dari keterpurukan bagaimana aku bisa melanjutkan hidupku. Setidaknya kali ini aku harus berjuang demi mewujudkan impianku. Agar ibu dan ayah tersenyum senang di atas sana, dan bangga terhadap anaknya ini.

Tamat


 


 

Posting Komentar

Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.