Fatamorgana
Oleh: Febriani
Suara deru ombak
terdengar begitu nyata. Ombak pantai yang bergulung-gulung perlahan mengikis
pasir pantai. Aku hanya duduk
di tepi
pantai, tepat
menghadap ke arah ombak yang kian datang dan pergi. Seperti harapan yang selalu
diharapkan kehadirannya. Aku
duduk di temani dengan lagu yang menjadi favoritku. Lagunya berjudul Not About
Angels karya Birdy. Setidaknya kali ini tidak terlalu sunyi.
"Kinan!"
Terdengar suara teriakan yang ku kenali. Aku berbalik, di sana ada ibuku
yang berdiri sambil melambaikan tangan. Ibuku yang bernama Radhiyah. Sontak aku berdiri dan
berlari menghampiri ibuku.
"Ayo, kita pulang.
Hari sudah mau sore." Ajaknya.
Aku
mengangguk sebagai jawaban. Aku dan ibuku berjalan kaki bersama menuju rumah
kami yang tidak
terlalu jauh dari pantai.
Sesampai di rumah, aku
hanya duduk di
teras depan rumah.
Sambil melihat bunga-bunga.
Aku
memang hidup berdua dengan ibuku. Karena ayahku telah
meninggal 6 tahun yang lalu saat aku masih SMP. Penyebabnya karena serangan
jantung.
Hidupku terbilang sederhana. Ibuku yang
bekerja sebagai penjual kue. Dan aku sekolah sambil bekerja sebagai pencuci
piring di rumah makan. Tetapi,
pekerjaan
tidak menghambat ku dalam menuntut ilmu. Buktinya aku masih mendapatkan
beasiswa di sekolah. Dan ibu berkata untuk selalu bersyukur kepada-Nya. Sebesar
dan sekecil apapun nikmat yang di berikan oleh-Nya.
"Kinan."
Panggil ibu sambil duduk di sampingku.
"Iya, Ibu." Jawabku.
"Besok ibu mau pergi
ke rumah nenekmu beberapa hari. Kamu tidak apakan sendiri di rumah?"
Aku tersenyum,
"Tidak apa ibu. Aku kan sudah besar. Bisa menjaga diriku sendiri. Ibu
tidak perlu khawatir." Jawabku.
Ibu tersenyum sambil
mengelus kepalaku dengan sayang. "Anak ibu yang terbaik."
***
Di sekolah seperti
biasanya aku akan belajar dengan
serius. Jika saat
istirahat aku tidak sempat pergi ke perpustakaan. Aku
akan ke kantin sambil membaca buku lewat handphone.
"Kinan, makanlah
yang benar. Jangan terlalu serius membaca saat makan." Saran
temanku yang bernama Aliza.
"Lihatlah, kamu
sekarang jadi kurus begini. Pasti pola makananmu
tidak teratur." Ujar Yusuf yang juga temanku.
Aku mendongak menatap
mereka, "Iya." Jawabku sambil mulai serius dengan makananku.
"Kinan, jangan lupa
untuk lihat mading. Siapa tahu ada namamu kali ini." Saran Yusuf.
Aku mengingat, memang aku
sering mengikuti beberapa lomba menulis di sekolah. Dan lusa adalah
pengumumannya. Semoga
saja kali ini ada namaku di mading. Jika tidak sebagai juara umum, setidaknya sebagai
juara harapan tidak apa.
"Doakan saja."
Ujarku.
Selesai dari sekolah, aku
langsung bekerja di rumah makan sebagai pencuci piring. Dan kali ini ada banyak
piring kotor. Ya, Alhamdulillah pengunjung hari ini banyak yang datang.
Selesai dari mencuci,
sebagian piring yang sudah bersih ku angkat dan membawanya untuk di simpan di
meja depan. Agar memudahkan pekerja dalam menjalankan tugasnya. Saat di bagian depan aku
dapat mendengar beberapa orang berbincang mengenai bisnis. Itu sudah hal lumrah
bagiku.
"Kinan, bisa tolong
antarkan pesanan ini ke meja nomor 4!" Seru kak Amel selaku pekerja
senior.
Aku mengangguk sambil
membawa nampan berisikan makanan berat. Selesai dari tugas mengantarkan makanan,
aku berbalik menuju bagian belakang untuk menyelesaikan tugasku.
Tetapi, pandanganku
beralihkan ke poster yang berisi perlombaan menulis Esay. Dan hadiahnya cukup
memuaskan yaitu beasiswa masuk Universitas Negeri. Sontak aku mengambil handphone yang ada di
saku rok ku dan memfotonya.
"Kinan! Selesaikan
tugasmu." Tegur Bu Anya selaku bos di tempat ku bekerja. Aku mengganguk sebagai jawaban dan mulai
menyelesaikan tugasku dengan cepat.
Malam harinya aku lebih
giat dalam belajar.
Karena tidak lama lagi akan ada ujian. Dan aku sekalian belajar untuk lomba
yang aku lihat tadi siang. Ada
banyak buku yang berceceran di meja ruang tamu. Mendakan sebagai bukti
banyak buku yang sudah ku pelajari.
Pandanganku teralihkan
ketika menyadari hawa di rumahku semakin dingin. Bahkan aku bisa mencium bunga
melati yang terasa begitu dekat denganku. Sontak aku memegang tengkuk leherku yang
merinding.
Di halaman rumah memang ada banyak tanaman bunga melati. Karena ibuku suka bunga
melati. Bahkan ada banyak foto bunga melati yang ada di dinding. Tetapi, kenapa
ada bau bunga melati di dekatku?
"Aneh." Lirihku
pelan.
Beberapa hari kemudian
aku bersemangat seperti biasa saat ke sekolah, dan kali ini lebih semangat. Karena tepat hari ini
adalah pengumuman pemenang lomba menulis di sekolah.
Aku berjalan ke arah mading dengan detak
jantung yang kian semakin berdetak kuat. Sesampai di depan mading aku segera
menutupi wajahku dengan kedua tanganku. Sambil mengatur nafas dan jantungku
yang sedang tak karuan.
Perlahan ku buka sedikit
tanganku untuk melihat mading. Sontak ku lepaskan tangan dari wajah dan melihat
ke arah mading dengan tatapan tak percaya.
"Ternyata...gagal
lagi, ya." Gumamku pelan. Dan akhirnya aku berjalan ke kelas dan mengikuti
pembelajaran di sekolah dengan lesu. Bahkan di tempat kerja aku juga lesu.
Merasa semangatku telah
hilang hanya karena gagal lagi. Tetapi ini cukup membuatku frustasi. Apakah
Sang Penguasa tak menyayangiku?
Aku sadar setiap aku
mengikuti lomba menulis dan setiap itu juga aku akan gagal. Memikirkannya
membuat mataku memanas, tetapi aku tidak boleh menangis.
Bahkan saat di rumah aku
hanya duduk termenung di ruang tamu.
Ibu yang melihatku
menjadi sedih. "Kinan." Panggilnya.
Aku menoleh dengan mata
yang mulai berkaca-kaca. Inilah kelemahan ku, saat melihat ibu aku jadi merasa
sedih. Aku merasa mengecewakan ibu.
"Ibu!" Seruku
sambil berlari dan memeluknya erat.
Perlahan ibu juga
membalas pelukanku sambil mengelus sayang kepalaku. "Menangislah.
Keluarkan saja, sayang."
Aku menggeleng dan
mengangguk. Perlahan aku menangis di pelukan ibu. "Aku mengecewakan
ibu." Ucapku sambil terisak.
"Tidak sayang. Kamu
tidak mengecewakan ibu. Justru ibu bangga sama kamu. Kamu tetap berjuang walau
kamu gagal. Itu sudah membuktikan kalau kamu anak yang patut di
banggakan." Ujar ibuku sambil tersenyum.
"Tidak apa, sayang.
Menangislah. Keluarkan semua emosimu lewat tangisanmu. Kamu tidak cengeng hanya
dengan menangis. Dengan menangis bisa meringankan sedikit bebanmu. Setelah itu
wudhu lah untuk menyejukkan hatimu, dan berdoalah kepada-Nya untuk meminta
pengampunan. Kamu harus ikhlas. Jika gagal kamu harus bangkit lagi. Ibu percaya
dengan kamu, karena anak ibu adalah anak yang hebat. Ibu bangga padamu karena
sudah berjuang selama ini. Kamu anak kesayangan ibu sama ayah kamu." Jelas
ibuku sambil tersenyum.
Ku longgarkan sedikit
pelukan dan melihat kearah ibu.
"Berwudhulah,
setelah itu makan di meja makan ,ya sayang." Pinta ibuku. Aku mengangguk
dan segera pergi berwudhu. Setelah
itu aku berjalan ke meja makan.
"Loh ibu di mana?"
Tanyaku pada diriku sendiri ketika tidak melihat ibu di meja dapur. Aku segera
mencari ibu ke segala sudut rumah, tetapi ibu tetap tidak ada.
"Mungkin ibu pergi
ke rumah tetangga." Gumamku.
Ke esokan harinya aku
memulai aktivitas di sekolah seperti biasa. Mulai menekuni pembelajaran dengan
serius. Bahkan di tempat kerja juga demikian. Aku bekerja lebih semangat dan
semangat.
Beberapa hari kemudian
saat berjalan ke sekolah. Entah mengapa detak jantungku terasa begitu berdetak
kencang. Apakah akan terjadi sesuatu? Dan itu membuatku sedikit takut. Bahkan di
tempat kerja detak jantungku masih berdetak kencang.
"Kinan, ayo ikut
saya. Ada yang mencarimu." Ajak Bu Anya.
Mendengar itu jantungku
semakin berdetak kuat. Apakah aku sakit jantung?
Pandanganku teralihkan
kepada beberapa pria paru
baya yang mengenakan pakaian serba hitam. Aku duduk dengan gugup di hadapan
mereka.
“Dengan
nona Kinan Divya?" Tanya salah satu dari mereka.
"Iya, dengan saya
sendiri." Jawabku pelan.
Pria tersebut tersenyum.
"Perkenalkan saya Edgar selaku direktur dari Universitas Negeri. Saya
ucapkan selamat kepada nona Kinan yang telah berhasil memenangkan lomba, dan
mendapatkan beasiswa untuk masuk universitas. Selain itu, nona juga mendapat
bentuk penghargaan berupa piala, sertifikat dan uang saku. Dan di map ini ada
beberapa persyaratan administrasi yang harus di isi. Nanti bisa diantarkan ke
ruang Biro di kampus. Sekali lagi saya ucapkan selamat." Jelas pria
tersebut yang bernama pak Edgar.
Sontak aku bersujud syukur
kepada-Nya. Karena berkat-Nya
aku
bisa menang kali ini. Memang usaha tidak akan mengkhianati hasil. Dengan ini
aku bisa mengejar mimpiku lebih dekat lagi.
Aku tersenyum lebar.
Setelah itu aku mengucapkan banyak-banyak terimakasih dan meminta izin ke ibu
Anya untuk pulang lebih awal. Aku akan memberikan kabar bahagia ini kepada ibu.
Pasti ibu sangat senang.
Aku berlari menyusuri
jalan dengan senyum bahagia. Bahkan wajahku sudah basah karena air mata. Apakah
ini yang dimaksud dengan jantungku yang berdetak kuat seharian ini. Sesampai di halaman rumah
detak jantungku masih kuat berdetak.
"Ibu!"
Teriakku. Dan aku segera berlari memasuki rumah.
Di dalam rumah, aku
berhenti sejenak untuk mengatur nafas dan jantungku akibat berlari terlalu
kencang.
"Ibu."
Panggilku.
Ku edarkan pandangan
setiap sudut rumah, tetapi tidak ada ibu. Aku berjalan menuju kamar ibu, tetapi juga
tidak ada ibu. Bahkan kamar ibu terasa dingin seperti tidak pernah di masuki.
Ku lihat ada bunga melati di atas meja rias ibu. Ya, ibu masih suka terkadang
membawa bunga melati di kamarnya.
"Ibu."
Panggilku lagi.
Dan aku melihat ibuku
sedang mencuci piring kotor di dapur.
"Ibu!" Seruku
sambil memeluk ibuku erat.
"Eh, anak ibu sudah
pulang." Ujarnya berbalik dan memeluk erat saling berhadapan. Sambil
mengelus kepalaku sayang.
"Ibu, tahu? Alhamdulillah aku menang
lomba menulis. Aku menang ibu, dan aku mendapatkan beasiswa masuk
universitas." Ujarku bahagia.
Ibuku tersenyum haru,
"Wah, anak ibu hebat. Ibu bangga sama kamu sayang."
Aku sedikit melonggarkan
pelukan kami. " Tidak hanya itu ibu, aku juga dapat piala, sertifikat dan
uang saku. Ayo kita lihat bersama ibu. Pasti ibu suka." Ajakku sambil
menggenggam erat tangan ibuku.
Kami berjalan ke ruang
tamu. Tempat di
mana aku meletakkan hadiahku di sana.
Aku mengambil piala, “Ibu
bagus bukan?” Tanyaku sambil berbalik menghadap ibuku. Tetapi, aku terkejut
tidak mendapati ibu di hadapanku.
“Ibu... Ibu di mana?”
Aku berjalan menyusuri
kembali rumah. Akan tetapi tidak ada. Aku semakin merasa takut, apakah ibu
tidak suka dengan piala makanya
bersembunyi dariku?
“Ibu!” Teriakku.
Aku keluar dari rumah menuju
halaman depan.
“Ibu!” Teriakku kembali.
“Kinan, kamu kenapa?”
Tanya Bu Dian tetangga sebelah rumahku.
“Bu Dian liat ibuku,
tidak?”
Seketika raut wajah Bu
Dian yang tadinya khawatir semakin khawatir. Apakah terjadi sesuatu?
Bu Dian berjalan
menghampiriku dan langsung memeluk erat. “Kinan, jangan menyiksa dirimu
sendiri. Ibu mohon ikhlaskan.” Ujarnya yang mulai terisak. Mendengar suara tangis
mataku perih dan meneteskan air mata.
“Ikhlas.” Beoku.
“Kamu harus ikhlas Kinan.
Jangan seperti ini. Ibu mu sudah tenang di sana bersama ayah kamu.” Jelasnya.
Deg.
Perlahan piala yang ada
di tanganku terjatuh. Pandangan ku kosong. Memikirkan beberapa ingatan yang
terlupakan. Air
mata semakin deras membasahi pipiku. Bagaimana aku lupa, jika ibuku sudah
meninggal tiga tahun yang lalu. Mengapa aku lupa dengan kejadiaannya. Lalu, apa
yang terjadi? Apakah
ini yang dinamakan fatamorgana?
Perlahan kepalaku mulai
memberat dengan mataku yang mulai memburam hingga semuanya menggelap.
***
Aku duduk di pesisir pantai. Menghadap langsung deburan ombak yang
terlihat bergelombang. Inilah kenyataannya, aku terlalu stres saat kepergian
ibu. Hingga aku selalu memimpikan ibu yang memang masih ada. Pada kenyataannya semua
mimpi yang ku lalui, hanya seorang diri. Tanpa ibu. Lantas mengapa aku
terbangun. Aku hanya ingin bermimpi dengan masih adanya ibu.
Bagiku mimpi adalah
harapan. Bahkan aku pernah mendengar bahwa “Mimpi adalah pekerjaan yang sangat
mudah dan tidak perlu biaya mahal. Tetapi, aku salah dalam memimpikan yang satu
ini. Aku salah bermimpi yang tiada ku adakan. Sungguh gila diriku ini.
“Aku harus ikhlas,
bukan?” Tanyaku pada diri sendiri.
Perlahan senyuman hadir
di wajahku. Memang seharusnya, aku harus ikhlas. Jika aku tidak bangkit dari
keterpurukan bagaimana aku bisa melanjutkan hidupku. Setidaknya kali ini aku
harus berjuang demi mewujudkan impianku. Agar ibu dan ayah tersenyum senang di
atas sana, dan bangga terhadap anaknya ini.
Tamat