Mau Ikut Lomba Menulis Gratis? Daftar Sekarang!

Mata Harta - Melisa Yolivia (LCPC 14 Cerpen)

Admin

 

Mata Harta

Melisa Yolivia


Kerisik dedaunan meresahkanmu. Candra biru lamat-lamat memancarkan pesonanya. Matamu menangkap dua sosok renta memikul karung yang padat pada salah satu bahu mereka sembari mengais tumpukan sampah di sisi halaman semen setiap rumah dengan bertelanjang kaki.

“Dek, itu!”

“Apa?”

Salah satu dari mereka menunjuk ke seberang jalan yang mampu dilintasi dua mobil itu. Sebuah pusat pengiriman paket seolah-olah menghadiahi mereka banyak dus bekas yang tergeletak di samping pagarnya. Kau tak terburu-buru menyusul mereka.

Kautahu benar jika orang tuamu tidak akan berakhir seperti itu, setidaknya dari yang mereka usahakan kini. Kaurogoh dua bungkus biskuit gandum yang sedianya kaujadikan cadangan kala genting dari ransel yang nyaris kopong. Kauhampiri mereka, kemudian kausodorkan tanpa mengeluarkan satu kata pun.

“Terima kasih, Nak ....” Mereka hanya berujar pelan, sementara batinmu menghargai pelajaran yang mereka sampaikan secara tak langsung tentang betapa pentingnya kehadiran saudara.

Setelah sepatu hitam bertali dan bercorak garis putihmu menapak beberapa meter, kaulirik pergelangan tanganmu. Kolom menit pada arloji digitalmu bergulir ke angka empat belas. Sayangnya, tanganmu malas untuk mengaktifkan benda pipih persegi panjang yang nyaris selalu mengikutimu. Biarlah aku menghirup udara dingin untuk malam ini. Begitulah bisikan hatimu sembari membiarkan angin mengacak helai rambut hitammu.

Kurang lebih 1.800 detik kauhabiskan sebelum daun pintu berhiaskan susunan kaca berwarna makin jelas menyapa pandanganmu. Kaudorong gagangnya yang kokoh seperti biasa, kemudian kautukar alas tapakmu dengan sandal berlapis beludru. Wanita paruh baya yang setiap hari bertatap muka denganmu itu berbaring di sofa.

“Danny?” Beliau beringsut agar wajah teduhmu dapat dicerapnya.

“Lho, Mami?” Wanita berambut bergelombang itu memijat lengan kanannya. Rautmu keheranan karena itu.

“Kamu ga dijemput Pak Rudi?”

“Engga.” Sesingkat itulah balasanmu terhadap wanita yang belakangan ini mengusik keheningan benakmu. Kaumemang sengaja membebaskan sopirmu dari kewajibannya demi rencanamu. “Ke atas, Mami," imbaumu.

“Susah tidur.” Tiliknya tertuju hanya padamu.

“Ah. Mami jangan nyamping, nanti tambah sakit.” Kauunjuk perhatian kecil sebelum menapaki anak tangga pertama.

***

Latihan kesekian kali untuk lagu bertema perpisahan itu selesai. Dentuman drum bertempo lambat pun diakhiri dengan desis simbal yang lebih cepat. Usai menyimpan kembali stik berukuran sedang, kau bertepuk tangan, mengapresiasi jerih payah para personelmu.

“Kerja bagus, guys!”

“Woh!” sorak mereka untuk selebrasi. Kalian keluar dari ruangan berukuran tiga belas meter persegi itu menuju ke surga tongkrongan favorit: Laboratorium Musik Inc Band. Di sanalah kalian meramu seluruh elemen demi lahirnya karya-karya pencerah masa muda. Sembari menanti pesanan bento dari kantin dibawakan, kauajak mereka berkumpul, membentuk lingkaran dengan bangku yang diseret.

Well, sori ya.” Kau menggigit sudut bibirmu sekilas. “Mau tau, dong, pendapat kalian soal ...”

“Masa depan?” Pemain keyboard band-mu menyerobot.

“Eh, tumben, bener?” Alismu bertautan, mengekspresikan kekagetanmu, sementara adik-adik kelasmu itu kompak menyeringai.

“Nah, gini ....”

***

Telapakanmu baru saja menginjak ubin lantai yang kesat ketika aroma kuat menguar dari meja kaca. Kau berjingkat ke tempat menerima para tamu dan dua gelas berisi cairan kuning kecokelatan menunggu di atasnya. Mungkin teman arisannya Mami, pikirmu santai. Selain menjajakan tas bermerk terkenal kepada relasinya, beliau pun terjun sebagai sosialita kelas kakap. Barangkali mereka perlu meredakan malam yang berat.

Kauteruskan langkah menyusuri undak-undakan hingga sampai di koridor. Kala melewati kamar ayah dan ibumu, badanmu mundur. Dilingkupi keremangan, seberkas cahaya menyusup dari sana. Butuh waktu bagimu untuk mencerna motif dua sosok yang memunggungimu di dalamnya. Kepala wanita yang telah melahirkanmu itu bersandar pada bahu lebar pria berpotongan rambut cepak, sedangkan tangannya melingkari tubuh pria berkemeja lengan panjang itu.

“Aku sayang banget sama kamu ....” Kau membelalak ketika lima kata itu meluncur dari bibir wanita berdaster sutera itu.

“Tanpa kamu bilang, aku juga tau. Rasaku padamu juga takkan pudar ...” Kauburu-buru beralih sebelum menyulut asumsi yang tidak-tidak. Mulutmu bak berlumur lem.

***

Hola!” Pemuda berkaus kelabu dengan dilapisi seragam tak terkancing itu mendekati tempat dudukmu. Hanya roman datar yang kaulemparkan saat menggenggam tangan besar yang hendak menjabatmu itu.

What’s up?

Tak kausahuti basa-basi keakraban itu karena begitu intens terpaku pada papan tulis tripleks bening yang tergantung di dinding.

“Bang?” Goyangan di jemarimu menarikmu kembali dari momen aneh yang kausaksikan semalam.

“Oh ya?” Kausigap untuk mengajukan topik pembicaraan. “Mana liriknya? Buruan, keluarin.”

“Lo ga papa?” Selembar kertas partitur dengan rangkaian melodi dan deretan kata bermakna itu kausambut dari pemuda yang berselisih setahun denganmu itu.

“Ga papa.” Kauhanya mengulaskan senyum kecil. Setelah membacanya sejenak, kaupun mulai memberikan komentar terkait hasil komposisi gitaris band-mu. Namun, ketika dia menjelaskan alasannya untuk beberapa bagian, kaumalah lebih banyak termenung.

“Bang?” Pemuda itu menjentikkan jari, nyaris mengenai ujung hidungmu.

“Ha, iya!” serumu. “Overall udah bisa, sih.”

“Lo kenapa?” Pemuda itu bertanya dengan lugunya.

“Dah, ga masalah, kok.”

“Yakin lo, Bang?”

“Iya, Jayden.” Kaulontarkan dua kata untuk meyakinkannya. “Makasih dah nanya.”

“Kalo lo perlu, cerita aja, Bang.” Pemuda itu mesem sambil memukul pelan bahumu.

“Sip!” Kauacungkan jempolmu.

***

Lampu belajar menemanimu berjibaku dengan mata pelajaran yang menimbulkan pengelanaan bagi khayalanmu. Kautuangkan konsep peristiwa pada setengah lembar buku tugas bersampul kilatmu yang terbuka lebar, sedangkan separuh pipimu bertumpu pada kepalan yang menekuk. Lalu, kaujeda sejenak penciptaan karanganmu untuk memeriksa, barangkali ada yang kaulupakan.

Setelah lima kali bersua, mereka mulai merasa nyaman, tanpa ada lagi kecanggungan. Suatu hari, salah satu dari mereka bertanya, ”Bagaimana pendapatmu tentang perselingkuhan itu?” Dahimu mengernyit begitu berpapasan dengan dialog itu, tetapi penamu langsung menari, mengguratkan kalimat yang tak kauduga.

“Aku tidak tahu.”

Kauembuskan napasmu dengan keganjilan yang liar. Akan tetapi, tidak ada yang dapat kaulakukan untuk menghentikannya. Fantasi yang nyata itu kaukisahkan hingga terdengar ketukan. Kausudah hafal, wanita dengan sanggul berantakan itu sekadar ingin berbasa-basi.

“Mami kira kamu udah tidur.”

“Belum. Bentar lagi.”

“Soalnya ini udah jam sepuluh. Biasanya kamu, kan, di spring bed.

Kaucengar-cengir, pertanda kecanggungan menguar, seakan-akan yang kautonton kemarin melodrama belaka. Hingga beberapa saat usai wanita itu menghilang di balik pekatnya kegelapan, kegelisahanmu tidak juga menguap. Kauraih ponsel lipat seri terbarumu, kemudian kautaruh di sekitar tumpukan sumber pengetahuanmu. Foto seorang komisaris yang berkendara terpampang di layarnya, sementara nada sambung berbunyi. Pemilik nomor itu tidak kunjung mengangkat panggilan video darimu.

Sebulan sudah kauperam unek-unek yang biasanya diutarakan pada pria yang menghadirkanmu ke dunia. Segalanya mencapai puncak malam itu. Kaupercaya, kepadanya kaubisa menghalau kabut yang terlanjur menutupi kerasionalanmu. Namun, pria berkumis tipis itu berada di negara dengan zona waktu yang berbeda denganmu. Tuntutan tanggung jawab lebih sering membentangkan jarak dengan pendukung mimpi garis kerasmu itu hingga berpuluh ribu kilometer. Kau tak berdaya karenanya.

Sebenarnya, jurusan musik terapan di sebuah universitas ternama telah kauincar sedari duduk di tingkat pertama SMA, jauh sebelum kau berkenalan dengan rekan-rekan sepanggungmu di festival demi festival. Sebagai pelarian dari kesibukan para penghuni puri yang menjenuhkan, kaujatuhkan pilihan pada ekstrakurikuler yang kaurintis bersama mereka. Seiring rutinnya kau menggebuk, kaupersiapkan pula dirimu untuk masa mendatang. Semuanya perlahan sirna karena insiden itu, berganti dengan bayangan yang disebut ‘keluarga’ sepulangmu dari sekolah.

“Ei, mau ke mana kau?” Logat ala preman begitu khas dari pria berkulit sawo matamg dan bertopi kusam itu.

“Kaujaga dulu dia!” Wanita dengan rambut diikat asal itu memperingatkan sebelum meniup nyaring peluitnya di tengah terpaan terik surya. Bocah berambut pirang yang memegang mobil-mobilan nyaris kabur tanpa pengawasan. Namun, dia tidak meronta ketika pria itu menggendongnya dengan segera. Dengan lembaran uang yang mengintip dari saku celana penuh sobekannya, kausimpulkan sesuatu: keutuhan atap takkan dapat dibayar dengan limpahan materi. Itu pula yang mengantarkanmu pada kenekatan: penebusan lewat pengorbanan.

***

“Serah.”

“Gue mah oke-oke aja.”

“Boleh aja, Bang. Kan, elo yang jalani.”

Secara berurutan, Arthur, Jayden, dan Kyle menyuarakan persetujuan mereka. Barangkali mereka tidak menyangka dengan strategimu. Namun, mereka pulalah yang menyertaimu di antara kerumunan sekarang.

“Papi!” Kaulambaikan kedua tanganmu pada pria yang menjinjing map tebal itu.

“Hei!” Pria itu menoleh. “Kalian ....” Beliau terkesiap begitu menyadari ada yang tidak beres. “Bukannya harusnya ...”

“Ga jadi, Papi.” Sergahmu membuatnya gelagapan.

“Kok ...” Beliau tak dapat melanjutkan kata-katanya karena kalian mengawalnya bak tentara.

***

Tiga kursi rotan itu memanas, melelehkan kebekuan yang membatasi kalian. Tekadmu untuk merangkai rekonsiliasi sudah bulat.

“Maafin aku ....” Wanita itu menyeka air mata yang mengalir. “Aku udah khianati kamu ....”

“Aku yang kurang peka.” Pria itu melepas kacamatanya. Kedua tangannya merangkup di depan dada. “Terutama sama kamu, Danny.”

Kaumalah menghela napas lega. Ulahmu menghanguskan tiket penerbangan dan kesempatan menimba ilmu di negeri lain tidak sia-sia.

“Impianku ga ada apa-apanya dibandingkan cinta yang aku inginkan setelah sekian lama.” Kau merinding karena ucapanmu sendiri. “Lagipula, aku juga suka bisnis. Sisanya bisa jadi sampingan. Kita baru bisa sering bareng, apalagi kalau Papi pensiun.”

Rangkulan itu akhirnya mendarat ke tempat yang tepat. Berkat sepasang mata bundarmu, kauselamatkan kehormatan sepanjang hayatmu.

***


1 komentar

  1. Keren banget kak Mel, semangat😻💪
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.