Mau Ikut Lomba Menulis Gratis? Daftar Sekarang!

Mimpi yang Terhenti - Kayla Najmi Ihsani (LCPC 14 Cerpen)

Admin



Mimpi yang Terhenti

Kayla Najmi Ihsani


Badanku membeku seakan-akan melihat hantu, keringat dingin mengalir dari ujung dahi hingga baji. Suara dari kejauhan itu pun datang mendekat. Dia terlihat berantakan, rambutnya seakan belum disisir sejak seminggu yang lalu. Sweater yang dipakainya terlalu besar hingga menutup lututnya, tetapi aku masih dapat melihat luka bakar di pahanya.

“Apakah kamu ingin mengakhirinya?” dia bertanya. Pertanyaan itu terdengar seperti ilusi, aku tidak pernah mendapat pertanyaan seperti itu selama sembilan belas tahun aku hidup di dunia. “Aku tidak mau kamu melakukan hal itu”, katanya. “Aku tidak bisa membiarkanmu melakukannya. Kamu tidak boleh meninggalkanku sendirian,” Suaranya pecah.

Mulutnya mengkerut seperti menghisap dirinya sendiri. Mata serta hidungnya merah, satu air mata mulai keluar dari sudut mata coklatnya dan dia mengangkat tangannya untuk menutupi wajahnya. “Maaf,” kataku. Melihat ekspresi wajahnya yang hancur berkeping-keping sangat menyakiti hatiku. Aku juga mulai menangis saat itu.

Melawan iktikad yang telah aku siapkan dengan matang, aku menjauh dari tepi balkon bangunan yang terbengkalai dan menempuh lima langkah kecil lebih dekat dengannya. Aku berharap ini dapat membuatnya mengerti bahwa aku mengurungkan niatku. “Maafkan aku. Maafkan aku, maafkan aku, tolong maafkan aku”, itu yang kuucapkan dalam hati.

Dengan cepat, dia menggenggam tanganku. Genggaman tangannya perlahan menarik diriku untuk lebih dekat kepadanya. Kami duduk dan diam sekitar sepuluh menit. Suara hening ini begitu berisik, aku tidak mau jika harus memulai percakapan duluan kepadanya dan aku juga yakin dia memikirkan hal yang sama denganku. Dia menatapku dan tersenyum lega.

“Mereka terlalu egois, tetapi aku yakin kamu masih kuat untuk menggapai mimpimu,” bisiknya sambil tertawa sedih. “Pulanglah Jihan, orang tuamu menangis khawatir.”

“Bagaimana jika aku berkata tidak?” tanyaku spontan.

“Berarti aku masih harus menemanimu lebih lama di sini,” balasnya tanpa ragu.

Kala itu, aku menyadari bahwa dia membutuhkanku sebanyak aku membutuhkannya, dia lebih mengenalku dibanding diriku sendiri. Dialah Meidina, satu-satunya makhluk hidup yang selamat dari kebakaran gudang mebel. Seorang pejuang hebat yang merangkul mimpiku.

Jangkrik sudah berderik dan kelelawar sudah keluar. Bulan purnama menunjukkan sinarnya, malam sudah sangat larut menandakan waktunya pulang ke rumah. Jika rumah adalah sarana pembinaan orang tua untuk mendukung anak serta impiannya, maka aku tidak punya rumah.

Mimpi orangtua bukanlah mimpi anak. Wajib hukumnya untuk mematuhi orang tua, tetapi anak tetap manusia biasa yang memiliki cita-cita, harapan, dan mimpi sendiri. Memberikan ruang untuk bereksplorasi dan berekspresi merupakan hal yang tabu pada orang tuaku.

“Kamu lanjut sekolah di sini. Jalanmu menuju universitas lebih mudah,” ucap Ayaku saat melihat website pendaftaran sekolah.

“Masuk universitas ini saja. Mengikuti kakak-kakakmu,” ucap Ayahku pada tahun berikutnya.

“Lebih baik kamu masuk jurusan ini. Kamu akan mudah mendapat perkerjaan,” ucap Ibuku.

Rasanya ada yang menarik diriku ke dalam dasar laut, sesak. Impianku, kemudahan untukku, tetapi benarkah itu semua untukku? Atau untuk mewujudkan mimpi mereka melalui aku? Aku bukan lah alat untuk mewujudkan mimpi-mimpi tertunda mereka.

“Aku daftar ajang melukis,” ucapku di depan Ibuku

“Apa? Untuk apa kamu ikut kaya gitu?” balasnya.

“Minatku di situ, aku suka. Aku sudah ikut seleksinya dari jauh-jauh hari,” suaraku pilu.

“Pikirin masa depanmu, jauhi hal yang tidak berguna,” ucapnya tanpa bersalah.

Terdiam menjadi kebiasaanku untuk menghindari perdebatan. Perdebatan panjang selalu tentang masa depanku terjadi saat aku mengutarakan minatku menjadi seniman. Di sini aku yang akan menjalani kehidupan. Di sini aku yang akan berjuang selama tiga tahun pembelajaran. Di sini aku yang akan mengerjakan kegiatan dan tugas.

Sebenarnya, menghargai apa yang diinginkan anak akan membuat mereka bahagia seperti kebahagiaan yang diharapkan para orang tua. Mengikuti ambisi dan mimpi orang tua dibalut rasa terpaksa akan menjadi beban. Hal ini memicu depresi, melakukan hal yang tidak diinginkan dan tidak disukai pastinya akan membuat tertekan.

Semesta menghiburku dengan menuntunku bertemu Meidina. Kami bertemu pada olimpiade nasional. Dia duduk di pojok stadium dan tersenyum kepadaku. Kepalanya menunduk dengan sorot mata tajam fokus melihat buku. Aku mendekatinya, dia membuat sketch pada buku milimeter block. Goresan pensilnya indah, seperti sudah terlatih sejak dahulu.

Mimpi kami sama, kami ingin menjadi seniman. Namun, orang tua kami berbeda. Orang tua Meidina cenderung mendukung dan mermfasilitasi. Hal itu terlihat ketika Meidina dibelikan sepuluh kanvas serta satu kotak cat pentel pada ulang tahun ketujuh belas oleh orang tuanya. Bohong jika aku mengatakan aku tidak iri, tetapi aku terus tekankan itu dalam hati.

Pada titik terendah, aku mengembuskan napas berat untuk yang kesekian kalinya. Orang tuaku jauh berbeda. Aku sudah lelah mendengarkan perdebatan panjang mereka tentang masa depanku.

“Aku ingin membuat kalian bahagia, tetapi tentu dengan jalanku sendiri. Aku yakin dengan pilihanku sendiri. Tolong kasih aku kesempatan,” ucapku yakin dengan tatapan serius.

Mungkin orang tuaku masih dan akan terus ragu akan pilihan yang telah aku pilih ini, tetapi inilah yang akan menjadi pemacu untuk berkembang dan membuat mimpiku nyata. Aku akan menunjukkan kepada orang-orang yang telah mempercayaiku.

Ibu dan Ayah, aku tahu kalian ingin yang terbaik untukku. Namun, biarkan aku yang menentukan garis arah hidupku tanpa harus ditekan dan dicerca setiap waktu. Kalau Ibu dan Ayah tidak bisa menahan lidah untuk menentang mimpiku, silakan katakan saja. Sudah saatnya aku memahami kalian. Aku menyayangi Ibu dan Ayah.

Posting Komentar

Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.