Mau Ikut Lomba Menulis Gratis? Daftar Sekarang!

Pertemuan Terakhir - Oleh : Khaulah Azizah (LCPC 14 Cerpen)

Admin

 

Pertemuan Terakhir

Oleh : Khaulah Azizah


Malam yang indah berhawa dingin nan sejuk. Angin-angin berkeliaran di luar menyelimuti sebuah rumah yang berada di dekat gunung Merapi. Disitulah rumah milik Hajar. Hajar adalah seorang gadis yang memiliki mimpi besar yaitu ingin menjadi Hafidzah 30 juz. Kini Hajar hidup bersama kedua orang tua yang kurang mampu. Ayahnya seorang petani dan ibunya seorang buruh. Meskipun demikian, ia tetap bersyukur kepada Allah dan berusaha kerja keras untuk mewujudkan mimpinya.

Beberapa saat kemudian, adzan Shubuh berkumandang. Hajar segera mengambil wudhu dan segera melaksanakan shalat Shubuh dengan tepat waktu di rumah bersama Ibunya. Tak lupa, ia berdo’a kepada Allah dengan sungguh-sungguh dan memohon kepada-Nya agar ia bisa mewujudkan mimpinya.

Di pagi yang cerah, ia siap-siap berangkat ke sekolah untuk mengikuti pelajarannya. Sekarang ia sedang bersekolah di Sekolah Cendekia Baznas (sederajat dengan SMP). Karena ia tinggal di Bogor, maka kedua orang tuanya mencari sekolah yang paling dekat dengan rumahnya. Dan Alhamdulillah... sekarang sekolahnya sudah ketemu bahkan sekolahnya bebas dari biaya (gratis). Kedua orang tua ia bersyukur sekali kepada Allah dan langsung bersujud di bawah lantai yang dikelilingi oleh pasir secara bersamaan.

Di sekolah, ia sangat senang sekali bisa mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, bahkan ada juga beberapa dari ilmu agama. Di sana ia bisa merasakan segala kenikmatan yang luar biasa yang belum pernah ia rasakan sama sekali. Mungkin ini adalah sebuah momen baru baginya.

Beberapa menit kemudian, waktu jam pelajaran terakhir sudah selesai. Ia segera memberes-beres barang dan memasukinya ke dalam tas. Ketika semua sudah keluar dari kelasnya masing-masing, ia langsung pulang menuju ke rumahnya dengan jalan kaki. Di tengah perjalanan, ia berpikir-pikir bagaimana caranya agar ia bisa mewujudkan mimpinya. Ia masih saja sulit untuk memikirkannya, mana cara yang terbaik untuknya. Ketika tiba di kebun, ada seorang gadis sebaya dengannya. Gadis itu kemudian mendekati ia. Ia kaget apa yang harus ia bicarakan di hadapannya. Sebab, gadis yang dihadapannya ia tak lain adalah sahabatnya ia semenjak SD. Sahabatnya bernama Humaira. Ia sangat bingung dan gugup-gugup ketika berada dihadapannya. Lalu dia tenangkan tubuh ia dengan tangan kanan di pundaknya sambil tersenyum.

“Kamu kenapa?” tanya dia yang sangat khawatir melihatnya.

“A...ku, aku ... Nggak papa. Cuma kagum bahwa kita masih bisa dipertemukan kembali.” Jawab ia sambil mengusap-usap keringat yang ada di dahinya.

“Syukurlah kalau begitu. Aku sangat senang melihatnya. Dan Alhamdulillah... Aku sangat bersyukur sekali bisa bertemu denganmu lagi, sahabatku.” Jawab ia dengan tersenyum manis (sambil memeluk tubuh ia).

“Aku juga.” Membalas pelukan hangat dari sahabatku (Humaira).

“Oiya, sekarang kamu sudah kelas berapa?” tanya Humaira pada ia.

“Alhamdulillah... Sekarang aku sudah kelas IX dan sebentar lagi mau lulus.” Balasku.

“Masya Allah... Ini sangat cocok sekali niih... Kebetulan saya mau nawarin kamu yang sangat spesial. Kamu mau nda?” Ajakan dia kepadanya.

“Hehe... Maaf, sebenarnya kamu mau nawarin aku apa?” jawabku dengan sedikit ragu.

“Hhhmmmm... Kira-kira apa yah???”

“Ayolah, sahabatku! Tolonglah jelaskan padaku! Aku sedang tanya seriusan niih...” pinta ia yang tidak sabar menunggu jawabannya.

“Iya, iya. Aku akan jelaskan kepadamu. Nda usah panik. Jadi gini, di sekolahku mengadakan pendaftaran di tahun ini. Dan kebetulan itu sekolahnya gratis 100%, khusus untuk anak yatim, piatu, dan dhuafa. Bahkan biaya segala pokok dan kebutuhan sekolahnya pun gratis. Semua itu yang memberikan adalah yayasan dari sekolahku. Kamu mau nda setelah lulus nanti lanjut ke sekolahku?” Humaira mulai menjelaskan.

“Hhhmmmm... Ya Allah... Aku harus bagaimana? Rasanya aku ingin sekolah disitu, tapi aku juga harus bisa memilih sekolah yang sesuai dengan kebutuhanku.” Batin ia.

“Hei! Jangan melamun.” Ujar dia hampir membuat ia terkejut.

“Aku nggak melamun, kok. Cuma kepikiran saja.” Balas ia dengan jujur.

“Pikirin apa? Sahabatku, tenanglah. Di sekolahku memiliki fasilitas yang lengkap dan semuanya sudah tersedia. Bahkan sekolahku itu bukan sekolah biasa yang ada di sekitarnya kita, gapi sekolahku itu masuknya seperti pondok pesantren. Itu sangat cukup untuk membantu dan membimbingmu.” Dia melanjuti penjelasan.

“Masya Allah.... Beneran itu???” Tanyaku dengan kagum (rasa kurang percaya diri).

“Ya, itu benar. Jadi gimana, kamu mau kan?” Ajakan dia kepadanya sekali lagi.

“Hhhmmm... Insya Allah, tapi sebelumnya aku mau konfirmasi sama kedua orang tuaku dulu yah.” Jawab ia dengan tenang hatinya.

“Alhamdulillah... Nanti kalau kamu sudah bilang, jangan lupa kabarin aku yah?”

“Iya, Sahabatku. Insya Allah. Tapi... Aku kan nggak punya HP. Gimana?”

“Nda perlu pakai itu, cukup kamu ke rumahku saja, yah, bagaimana?”

“Oke. Insya Allah, saya ke sana.”

“Baiklah. Kalau begitu, saya pamit pulang dulu yah?”

“Iya, hati-hati di jalan. Jangan lupa berdo’a agar bisa selamat.” Jawab ia sambil mengingatkan dia.

“Insya Allah. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Dadah Hajar.” Humaira pulang sambil melambai-lambaikan tangan kanannya ke atas kepadanya.

“Wa’alaikummussalam warahmatullahi wabarakatuh. Dadah Humaira...” balas lambaian dia.

Sesaat kemudian ia sudah sampai di rumah. Mengetuk pintu coklat, mengucapkan salam, dan ia pun langsung masuk ke dalam rumah. Sesudah ganti pakaian, ia segera mencari kedua orang tuanya untuk menanyakan sesuatu yang tadi.

Ketika bertemu, ia tanya dengan hati deg-degan “Umi, Abi. Hajar boleh tanya nggak?”

“Boleh, mau tanya apa?” balas salah satu dari kedua orang tua ia.

“Hajar minta izin sama Umi dan Abi setelah lulus nanti Hajar mau masuk ke Pondok Pesantren. Boleh nda, Umi, Abi?” Tanyaku yang masih kurang yakin.

“Pondok Pesantren? Hhhhmmm... Boleh, anakku. Tapi Umi sama Abi lagi nggak ada uang untuk biayain kamu di sana.” Jawab Abi ia.

“Umi sama Abi nda usah khawatir. Hajar sudah menemukan sekolah yang bebas dari biaya. Alhamdulillah... Tadi, sahabatku baru menawarkan itu di kebun. Jadi, bagaimana? Boleh nda, Umi, Abi?”

“Alhamdulillah... syukurlah kalau begitu. Kamu boleh sekolah di sana, nak. Tapi ingat kamu harus benar-benar belajar dengan sungguh-sungguh dan bisa berbakti kepada orang-orang yang sudah membjmbingmu, dan satu lagi, jangan lupa sama Allah.” Jawab Umi ia sambil mengirimkan pesan.

“Baik, Umi. Insya Allah, Hajar usahakan. Terima kasih Umi, Abi.” Jawabku sambil memeluk tubuhnya mereka dengan erat-erat.

Keesokan harinya ....

Ia pergi menuju ke rumahnya Humaira (sahabatnya). Setengah jam kemudian sampai di rumahnya. Ia mengetuk dengan tangan kanan dan mengucapkan salam. Lalu dia (Humaira) membalas salamnya dan mempersilahkan ia masuk ke dalam rumahnya. Lalu ia memberikan sebuah kabar yang gembira yaitu bahwa ia bersedia sekolah di sana setelah lulus nanti. Mendengar jawaban itu, dia semakin senang dan bersyukur kepada Allah. Lalu ia menunjukkan sebuah informasi terkait pondok pesantren yang baru dibicarakan lewat HP, dan ia pun segera mendaftar sekolahnya.

3 bulan kemudian....

Ia lulus dari sekolahnya dan segera izin pamit kepada kedua orang tuanya untuk pergi ke pondok pesantren. Lalu kedua orang tuanya senang dan mengantarkan ia ke pondok pesantrennya. Ketika sampai di pondok pesantren, ia merasa bersyukur sekali kepada Allah bahwa Allah telah memberikan jalan yang terbaik untuknya. Ia langsung memegang kedua orang tuanya dan menciuminya sambil menangis.

“Anakku, jaga-jaga ya, disini. Dan jangan lupa sama pesan yang disampaikan waktu itu.” Sambutan hangat dari kedua orang tuanya sambil memeluk tubuhnya bersamaan.

“Baik, Umi, Abi. Insya Allah, Hajar akan selalu ingat pesannya. Terima kasih ya Umi, Abi, sudah mengizinkan Hajar masuk ke sini.”

“Iya, anakku.” Balas Umi dan Abinya secara bersamaan.

Lalu kedua orang tuanya pergi meninggalkan Hajar. Mereka berharap semoga Hajar menjadi anak yang baik nan shalihah.

3 Tahun kemudian.....

Hajar dan teman-temannya sebentar lagi mau khataman 30 juz. Orang tua teman-temannya sudah datang semua, kecuali Hajar yang belum. Hajar sudah menelepon beberapa kali akan tetapi tidak diangkat-angkat. Hajar berjalan kesana-kemari karena khawatir dengan kedua orang tuanya.

Tepat di depan TV, ia melihat ada berita bahwa Gunung Merapi sedang meletus. Dengan lava dan lahar yang sangat panas menghancurkan beberapa rumah di dekatnya. Mendengar kabar itu, Hajar langsung menangis dan berlari-lari menuju ke tempatnya Ustadzah untuk meminta izin pulang ke rumah. Lalu Ustadzahnya memperizinkan dan mengantarkan Hajar ke rumah. Ketika sampai di rumah, ada tetangga sebelah lewat dan memberitahu bahwa kedua orang tuanya Hajar sedang ada di rumah sakit akibat rumahnya yang habis terkena letusan Gunung Merapi. Mendengar jawaban itu, ia mulai nangis deras. Lalu Ustadzahnya mengucapkan terima kasih kepada tetangga sebelahnya dan langsung membawa ia ke rumah sakit.

Ketika tiba di rumah sakit, ia langsung keluar dari mobil dengan terburu-buru dan berlari-lari kecil menuju dokter. Dokter bilang kedua orang tuanya ia sedang ada di ruang IV dengan kondisi yang kritis. Ia langsung mencari ruangnya dan masuk ke dalam ruang tersebut. Dengan hati yang sedih, ia bertemu dengan kedua orang tuanya dan langsung memeluk tubuhnya mereka. Mereka sangat senang bisa bertemu dengan anaknya kembali. Dan mereka mendengar kabar dari Ustadzah bahwa anaknya mereka mau khataman 30 juz lewat telepon. Mereka sangat bersyukur kepada Allah dan ingin mendengarkan suaranya Hajar saat Khataman. Lalu ia pun langsung memulai khatamannya lewat Zoom. Ketika ia dan teman-temannya sedang menkhatamkan Al-Qur’an sebagian, kedua orang tuanya menangis dan meninggal.

Melihat keadaan seperti itu, Hajar memberhentikan khatamannya. Ia menangis hingga tidak kuat menahan hatinya yang siap menerima semua itu. Kemudian dokter menutupi tubuh mereka dengan selimut sambil mengucapkan “Inna lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un...”. Ustadzah yang berada disampingnya pun memeluk ia. Meskipun demikian, ia tetap bersyukur kepada Allah atas segala permintaan yang ingin ia wujudkan, terkabulkan do’anya. Dan akhirnya, ia bisa membuktikan kepada mereka bahwa ia bisa mewujudkan mimpinya tersebut.

Posting Komentar

Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.