Mau Ikut Lomba Menulis Gratis? Daftar Sekarang!

PULANG - Oleh: Lisa Lee (LCPC 14 Cerpen)

Admin

 

PULANG

Oleh: Lisa Lee


Semua terlihat usang, muram, dan tidak terawat. Tanaman rambat liar memenuhi hampir setiap bagian tiang penyangga di rumah tua yang masih kokoh dengan motif bunga sakura di setiap dinding kayunya.

Sebuah aula yang cukup lebar menyapa dengan papan baduk dan bijinya tersusun bagaikan ada yang sedang bermain. Hening, ruangan tampak sangat tenang hingga detak jantung ini terdengar begitu jelas.

Suara sepatu pantofel yang bersentuhan dengan lantai papan, langkah demi langkah, menuju satu ruangan kecil yang menyuguhkan pemandangan hutan di balik jendela, satu meja dibawahnya dengan satu vas di kanan, poci dupa di kiri, sedangkan di tengah terdapat satu pigura dengan wajah laki-laki dewasa tengah tersenyum.

Hujan mulai turun, semakin deras menambah sendu, air mata pun tidak bisa lagi ditahan. Sebuah penyesalan datang saat semua telah berlalu. Kini, walaupun kembali ke masa lalu, semua hanya sebuah kenangan, tidak ada yang bisa dilakukan.

“Maaf, Ayah ....”

***

Seorang remaja tampak berdiri menenteng tas jinjing hitam, berdiri menatap rumah yang cukup besar dan pria tua tengah berdiri di depan pintu, melihat dengan mata sendu, tangannya berayun, bibirnya tampak mengatakan cepat pergi kepada putranya, lalu tersenyum.

“Ayah akan menunggumu di sini. Pergilah, anakku. Perbaiki apa yang telah terjadi, jangan melarikan diri. Aku yakin kau akan menjadi orang yang berguna suatu saat. Dan kembalilah setelah mimpimu terwujud,” ucapnya dalam hati sambil mengawasi putranya hingga tidak terlihat.

***

Di ujung ruangan aula terdapat satu jam yang kini mulai berdetak setelah dipasang baterai baru. Suara desis asap yang keluar dari cerobong teko air yang mendidih dari dapur membuat suasana rumah yang hampir dua puluh tahun tidak berpenghuni kembali hidup.

“Ayah, aku telah menyelesaikan study-ku dengan sangat baik. Aku adalah pria berjas yang dihormati banyak orang ....” ucapannya terhenti, dadanya terasa sesak hingga dia harus memukul-mukulkan kepalan tangan ke dadanya cukup keras. “Tapi Ayah, kini mimpiku terasa sia-sia.”

***

“Jeong Suk-a ....”

“Ya, Ayah.”

“Maafkan ayah karena tidak bisa mempertahankan ibumu untuk tinggal.”

“Kenapa kita tidak menyusulnya saja?” tanya anak kecil yang baru berusia tujuh tahun itu kepada ayahnya.

“Kau ingin bertemu ibumu?”

“Oo ....” Jeong Suk mengangguk pelan, tapi langsung menggeleng saat melihat ayahnya tampak sedih. “Tidak. Jeong Suk akan tetap tinggal bersama Ayah.”

“Aku akan segera melepasmu, Jeong Suk-a.” Batinnya dan segera memeluk anak laki-laki kesayangannya dengan hangat.

Setelah percakapan sore itu, ayah Jeong Suk menghubungi mantan istrinya untuk memberikan kuasa asuh atas Jeong Suk. Ayah Jeong Suk tidak ingin masa depan Jeong Suk hancur saat tinggal bersamanya karena jauh dari kota. Oleh karena itu, keesokan harinya Jeong Suk akhirnya meninggalkan ayahnya dan tinggal bersama ibunya di Seoul.

Sepuluh tahun kemudian, Jeong Suk tumbuh menjadi anak nakal yang selalu membuat masalah di sekolah, membuat ibunya merasa jengkel dan mengusirnya.

“Ibu hanya memperhatikan Eun Woo!! Apa Ibu lupa kalau aku juga putra kandung Ibu?!” teriak Jeong Suk sambil tangannya menghalau tas yang dilempar ke arahnya.

“Jangan pernah datang ke rumah ini lagi! Kembali saja kau ke rumah ayahmu!”

Hujan seperti tahu kapan dia harus datang, menyembunyikan air mata yang keluar dari remaja berusia tujuh belas tahun yang haus akan kasih sayang kedua orang tua. Namun, takdir yang tidak adil membuat Jeong Suk harus merasakan kerasnya dunia seorang diri.

***

Di sebuah halte menuju Incheon, Jeong Suk duduk termenung dengan tas jinjing dipangkuannya. Tidak lama kemudian, seorang gadis menyapanya.

“Lee Jeong Suk!? Kau Lee Jeong Suk, kan?”

Jeong Suk mengabaikan gadis yang berusaha melihatnya tertunduk, dia memalingkan wajahnya saat gadis itu ingin melihat luka memar akibat perkelahian tadi pagi yang menyebabkan dia diusir oleh ibunya.

“Hei! Dasar bodoh!” umpat gadis dengan pin nama dibajunya bertuliskan Lee Ji Eun kepada Jeong Suk sebelum dia dibuat terkejut dengan tatapan Jeong Suk ke arahnya. “Apa? Kenapa?”

Tanpa berkata apapun, Jeong Suk segera menaiki bus terakhir menuju Incheon, disusul oleh Ji Eun yang duduk di bangku belakang sambil terus memandang Jeong Suk.

Masih seperti sepuluh tahun yang lalu, rumah dengan dekorasi tua itu tampak tenang. Langkah demi langkah dia beranikan untuk bertemu dengan ayahnya. Namun, Ji Eun menghentikannya.

“Kau mengikutiku?!” teriak Jeong Suk sambil mengibaskan tangannya, membuat Ji Eun terjatuh. “Aish, kau tidak apa-apa?” Jeong Suk mengulurkan tangannya, membantu Ji Eun berdiri.

“Kau akan menemui ayahmu dengan wajah seperti itu?” tanya Ji Eun, tangannya aktif mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, sebuah plaster.

“Jeong Suk?!” tegur pria tua yang sudah berdiri di teras. “Jeong Suk-a, apa yang kau lakukan di ... ada apa dengan wajahmu?” melihat wajah anaknya yang lebam, dia segera menghampiri dan menyuruh mereka masuk.

Dengan penuh kasih, ayah Jeong Suk mengompres luka anaknya, mereka saling menatap rindu. Tanpa kata, tapi serasa saling bercerita. Keduanya berpelukan sedangkan Ji Eun dari kejauhan tampak meneteskan air mata haru.

Hari mulai gelap, rumah tua itu terlihat ramai hanya dengan tiga orang di dalamnya. Permainan baduk antara Ji Eun dan ayah Jeong Suk tampak menyenangkan. Tawa ceria di wajah mereka mampu menyembunyikan luka hingga dering ponsel Ji Eun menghentikannya sejenak.

“Sudah malam, besok kalian harus kembali ke Seoul.”

“Aku tidak ingin kembali. Aku ingin bersamamu di sini.”

“Kau harus mengantar Ji Eun dan membereskan kekacauan yang kau lakukan di Seoul. Kau bukan seorang pengecut!” tegas ayah Jeong Suk.

Hanya suara tetesan sisa air hujan yang terdengar, tidak ada anggukan atau bantahan. Mereka menuju kamar masing-masing kecuali Jeong Suk yang masih duduk di depan meja baduk di tengah aula.

Dengan berat, Jeong Suk meninggalkan rumah untuk kedua kalinya. Berdiri menatap wajah ayahnya untuk terakhir kalinya. Membawa mimpi yang cukup berat baginya. Dia harus bisa menjadi laki-laki dewasa yang kuat, karena hanya dirinya yang mampu menyelamatkannya. Ayahnya semakin tua, ibunya mungkin benar-benar telah membuangnya.

“Ayo pergi, Jeong Suk-a!” ajak Ji Eun. Memberikan penghormatan terakhir dengan membungkuk menghadap ayah Jeong Suk yang masih berdiri di depan pintu dengan mata sendu.

Jeong Suk yang berdiri dengan menenteng tas jinjing hitam pun membungkuk cukup lama karena air matanya tidak bisa dibendung. Laki-laki tua itu menggerakkan tangannya, mengisyaratkan putranya untuk segera pergi.

“Ayah akan menunggumu di sini. Pergilah, anakku.”

***

Menutup mata, melarikan diri dari ketidakadilan, aku tidak ingin melakukan itu. Harapan ayahku pergi bersamaku. Selama ini aku hanya terobsesi dengan kasih sayang seorang ibu yang sebenarnya tidak berguna. Mulai saat ini, aku hanya memiliki satu orang tua, yaitu ayah.

“Dan anak laki-laki yang dulunya kusebut bodoh, kini menjadi idolaku.”

Jeong Suk menyelesaikan pendidikan hingga jenjang sarjana. Dengan kecerdasan dan kejujurannya, dia mendapatkan gelar serta diangkat sebagai hakim muda di kejaksaan Seoul.

“Aku ingin mengunjungi ayahku akhir pekan ini.”

“Bolehkah aku ikut denganmu?”

“Tidak. Tetaplah di Seoul dan tunggu aku dan ayahku.”

“Kenapa? Aku juga ingin menjemput ayah mertua ....” rengek Ji Eun.

“Kau sedang hamil, tidak baik untuk kesehatanmu jika bepergian jauh.”

“Baiklah. Aku akan menunggumu, Sayang.”

Jeong Suk tersenyum manis dan memeluk erat istrinya. Mereka saling menguatkan satu sama lain sejak kembali dari Incheon lima tahun yang lalu.

***

Lee Jeong Suk berdiri tepat di depan pintu rumah ayahnya dengan menenteng jas di genggaman tangan yang mengepal sedikit bergetar. Dia tidak menyangka bahwa lima tahun yang lalu adalah terakhir kalinya dia dapat melihat senyum ayahnya secara langsung.

Suara pantofel yang bersentuhan dengan lantai papan terasa begitu jelas bersamaan dengan detak jantungnya. Menuju sebuah ruangan kecil yang memperlihatkan gambar ayahnya disamping poci dupa yang tidak menyala.

Dia mengambil kotak rokok dari saku jasnya, menjepitkan satu batang di sela jari telunjuk dan jari tengah, menempelkan di bibirnya, lalu membakarnya dengan sekali jentikan korek. Perasaannya pecah, tangisan bagai bayi yang kehilangan susu, Jeong Suk kembali ke saat-saat di mana dia harus kehilangan ibunya, dan kini ayahnya pun telah meninggalkannya.

“Maaf, Ayah ....”

***

Satu minggu berlalu, karena ponsel Jeong Suk tidak dapat dihubungi, Ji Eun ditemani oleh Jin Yoo, pergi menuju Incheon untuk menyusul Jeong Suk. Karena khawatir yang berlebih, dan kelelahan akibat perjalanan jauh, Ji Eun merasa kram pada perutnya. Dia dilarikan ke rumah sakit terdekat. Namun, bayinya tidak dapat diselamatkan.

Orangtua Ji Eun merasa sangat marah dan menyuruh Jin Yoo untuk mencari Jeong Suk ke Incheon. Namun, semua orang tampak terkejut setelah mendengar kabar dari Jin Yoo.

“Aku berharap semua ini hanya mimpi ....” ucap Ji Eun yang bersimpuh sambil memeluk foto suaminya.

Posting Komentar

Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.