Mau Ikut Lomba Menulis Gratis? Daftar Sekarang!

Tidak Pernah Berakhir - Oleh : Erzhadea Nayla Angel Hawa (LCPC 14 Cerpen)

Admin

 

Tidak Pernah Berakhir

Oleh : Erzhadea Nayla Angel Hawa


Malam itu sunyi. Sangat sunyi. Tak terdengar satupun derikan jangkrik. Tetapi, gadis yang sudah beranjak dewasa itu selalu terbangun ditengah tidur lelapnya, bukan karena insomnia ataupun ada yang mengejutkannya, tetapi karena bayang-bayang yang terus terlintas dalam benaknya. Demi Tuhan. Dia berani bersumpah. Bayang-bayang itu selalu ada tiap malam. Kadang terlihat di sela-sela mimpinya, kadang pula terlihat mengamati lekat gadis itu. Tapi, dia tidak takut. Sama sekali. Dia hanya penasaran, kenapa? Apa itu seperti memori lama? Atau sekedar fatamorgana?

Gadis itu terjaga dan pikirannya menelisik dalam mimpinya. Tapi hasilnya nihil. Ia hanya mengingat bayangan yang selalu menghantuinya itu. Dalam kegelapan kamar yang dimatikan, ada seorang perempuan yang usianya tampak jauh lebih tua dari gadis itu, berdiri di balik pintu kamar dan menatapnya. Perempuan itu kembali mengulang pertanyaan seperti pada malam sebelumnya.

“Lagi?” tanya perempuan itu dengan nada yang penuh kasih

Gadis itu hanya menganggukkan kepala, segera perempuan itu menghampirinya dan memeluknya dalam dekapan yang seharusnya terasa hangat tetapi malah sebaliknya. Setelah terjaga di tengah malam, ia tak akan pernah bisa kembali tidur nyenyak. Selang beberapa saat, perempuan yang memeluknya itu kemudian kembali pada kegelapan di luar.

Gadis itu mulai menyalakan lilin yang berada tepat di sebalah tempat tidurnya, dengan mengambil korek apik yang ia sembunyikan dalam sarung bantalnya. Dengan ditemani sebatang lilin, gadis itu beranjak keluar dari kamar yang berada di ujung koridor. Melewati koridor panjang yang hanya berisi satu kamar yang ditempatinya, dengan meraba-raba dinding. Tepat pada lukisan ke lima yang selalu membuatnya merasakan perasaan aneh, tangannya sontak merasakan suatu benda keras namun elastis. Mendekatkan lilin dan terpampang saklar merah yang sungguh menarik perhatian untuk diabaikan begitu saja. Gadis itu menekan saklar dan tiba-tiba saja turun tangga menuju ke atas. Ia sejenak berhenti. Bukankah tak ada lagi lantai setelah lantai ke tiga ini? Namun, ia menghiraukannya dan terus menapaki anak tangga hingga ditemuinya satu ruangan dengan lukisan seorang bocah laki-laki terpampang pada pintu yang sangat tua.

Ruangan dengan pintu usang itu kembali menarik perhatiannya, ia membuka ruangan itu. Dengan pencahayaan dari sebatang lilin, ia harus menajamkan penglihatannya. Di salah satu sudut ruangan, ia melihat lemari yang tak begitu berdebu. Padahal barang diruangan itu sudah penuh debu tebal. Mengapa bisa lemari itu seperti terjaga dari debu? Penasaran, gadis itu membuka lemari dan ia menemukan kotak dengan ukiran aneh setiap sisinya. Ia mengangkat kotak itu, dan tiba-tiba saja seperti ada suara yang berbisik pada telinganya.

“Kembalilah”

Gadis itu menoleh, tapi nihil. Tak ada seorang pun. Tiba-tiba saja ia mencium bau yang sulit dijelaskan dalam ruangan itu. Gadis itu bergegas keluar dari ruangan. Menuruni tangga dan kembali ke kamarnya. Mencoba membuka kotak tersebut dengan berbagai macam alat. Namun, tak ada hasil. Kotak itu tak dapat dibuka. Bahkan belum sempat ia membuka isi buku itu, kepalanya tiba-tiba berputar dan semuanya mulai gelap.

***

Hamparan padang rumput hijau dengan banyak anak kecil berlarian di bukit. Pemandangan yang menyejukkan mata. Di bawah salah satu pohon rindang, terlihat seorang gadis kecil dengan pipi merah merona dan rambut dikepang melihat kerumunan anak kecil yang sedang bermain. Ia menyendiri dan tak bergabung dengan mereka. Menatap kerumunan itu dengan sorot yang tak dapat dijelaskan secara detail. Entah tatapan sedih, atau pula tatapan iri yang disertai duka. Dari balik pohon itu, seorang bocah laki-laki mengagetkannya. Bocah laki-laki itu tersenyum jahil, tetapi dihiraukan oleh gadis kecil yang manis. Bocah laki-laki itu mengeluarkan buku dengan sampul coklat polos. Memberikan buku itu pada sang gadis, sembari berkata,

“Hei Lyana, aku beri tahu kamu suatu rahasia. Tapi, jangan mengatakannya pada siapa pun ya! Jika kau mengatakan pada orang lain, maka aku akan hilang!”

Mata gadis itu berbinar-binar seoalah penasaran akan rahasia yang akan diucapkan bocah laki-laki itu, tetapi ia tetap memasang wajah jutek seolah tak peduli.

“Kamu harus janji dulu padaku, baru aku akan mengatakan rahasianya”

“Janji” Jawab gadis itu cepat

“Buku ini dapat mengabulkan segala keinginan. Aku akan mengizinkanmu menulis di satu halaman buku ini”

Bocah itu memberikan bukunya beserta pena merah dengan sebuah ukiran di atasnya. Gadis itu mengambilnya, dan membuka halaman buku. Sebenarnya, ia tak lagi percaya pada keajaiban. Setelah kepergian orang tuanya, ia selalu merasa sendiri. Meski berapa kali pun ia berdoa agar orang tua nya kembali, namun, tak ada jawaban atas doanya itu. Ia menulis pada satu halaman buku itu. Bukan lagi harapan agar orang tua nya kembali, melainkan sebuah tulisan lain.

Seorang gadis yang berdiri tak jauh dari mereka berdua mencoba mendekat, dan bertanya pada mereka, namun, keduanya seolah tak merasakan keberadaan gadis itu. Gadis itu menyentuh pundak mereka, tapi tangannya hanya menembus mereka. Ia sudah dibuat bingung dengan bangun di tempat yang tak dikenalnya, dan dua anak kecil di hadapannya malah tak dapat ia sentuh. Ia mencoba membaca tulisan gadis itu, tapi, anehnya tak terlihat apapun.

Tiba-tiba bocah laki-laki itu menoleh dan menatap tepat dimata gadis yang sejak tadi kebingungan, dan mulutnya seperti mengeja sebuah kalimat

“Pulang dan ingatlah kembali”

Gadis itu tertegun, suara yang ia dengar sungguh familiar. Bahkan sekelebat ingatan seolah memenuhi kepalanya, ia tak sanggup menerimanya. Gadis itu memberontak pada dirinya. Bocah laki-laki itu, tetap berfokus pada gadis kecil di hadapannya. Tak menghiraukannya yang kesakitan. Kemudian tangan bocah laki-laki itu menyerahkan cincin kepada gadis yang lebih tua darinya itu. Gadis yang sedang kesakitan itu langsung memakainya tanpa banyak bertanya, merasakan suatu ketenangan ia menutup matanya.

***

Gadis yang sedang tertidur lelap itu terbangun. Ia terbangun dari mimpi yang aneh. Ia mengingat jelas mimipinya, padahal ia selalu terbangun tanpa mengingat apapun. Gadis itu mengatur napasnya, dan menata ulang pikirannya. Kotak yang tadi malam ia temukan masih tergeletak di atas kasur, ia membereskan dan menaruhnya di bawah kolong. Ia bergegas mandi, karena dalam waktu kurang dari satu jam ia harus segera turun untuk bertemu sang dokter. Ya, gadis itu berada di sebuah rumah tempat pengobatan. Dan lantai tiga adalah lantai miliknya seorang.

Saat bersiap-siap, ia baru menyadari ada sebuah cincin terpasang pada jarinya. Bukankah ini cincin dalam mimpi tadi? Ia merasa sayang untuk melepasnya, sehingga ia menjadikannya kalung agar dapat ia sembunyikan di balik bajunya. Ya, mereka tak boleh menggunakan segala macam perhiasan di rumah ini.

Gadis itu menemui sang dokter untuk melakukan terapi, sebenarnya ia tidak tahu penyakit apa yang dideritanya. Tapi, ia dipaksa masuk ke rumah pengobatan itu. Ia tak merasa kesal, hanya saja tinggal di rumah pengobatan sepertinya lebih baik daripada ia harus tinggal di rumah bibinya yang selalu menyakitinya. Dokter itu menanyakan bagaimana keadaannya, gadis itu hanya menjawab seadanya, karena ia rasa tak perlu menyampaikan apapun kepada dokter yang hanya ia temui seminggu sekali itu. Ia hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan sesi konsultasinya dan segera kembali ke kamar untuk menggali lebih dalam apa yang sedari tadi membuatnya penasaran.

Tampak dokter itu hanya tersenyum, dan seperti biasa dokter itu memberinya obat dan menceramahinya tak lebih dari tiga menit. Ia kemudia keluar dari ruangan itu, dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa, mengambil makan dan setelahnya kembali ke kamarnya.

Ia merasa linglung bahwasanya sekarang akan menginjak malam lagi, padahal belum lama ini ia mendapat buku itu ditengah malam. Ia berbaring di atas kasur dan mengotak-atik kotak itu. Ia mencoba menghubungkan kejadian-kejadian yang menimpanya dengan mimpinya tadi malam. Mengambil cincin yang bersembunyi di balik bajunya dan mengamati. Beberapa saat, ia menyadari bahwasanya motif cincinnya pas dengan bagian kosong pada kotak. Ia memasangkannya, dan kotak itu terbuka.

Kotak itu berisi buku yang sama dengan yang ia lihat dimimpinya. Gadis itu membukanya, tetapi, ia tak mengerti apa yang tertulis. Ia merasa bahwa akan mendapat jawaban dengan mengunjungi ruangan di lantai atas itu lagi. Belum sempat ia meneguhkan niatnya, perempuan yang selalu mengamatinya di balik kegelapan menghampirinya. Gadis itu terkejut, tak biasanya ia akan keluar di awal malam seperti ini.

“Ada apa Bu?”

“Jangan pergi,” Ucap perempuan itu

“Kenapa? Aku rasa aku harus pergi dan meski Ibu melarangku, aku tak akan peduli”

Setelah gadis itu mengatakan kalimat penentangan itu, perempuan yang selalu penuh kasih itu seolah mengeluarkan aura kesedihan bercampur kemarahan. Gadis itu tak peduli ataupun merasa takut, dia tak memiliki rasa takut. Rasa takutnya itu telah hilang sejak kecil. Perempuan yang dipanggilnya ibu itu memanglah ibu kandung sang gadis. Namun, gadis itu telah ditinggal oleh kedua orang tuanya sejak ia kecil. Ya benar – gadis itu bisa melihat sesuatu yang tak kasat mata. Perempuan itu lantas meninggalkan gadisnya.

Tepat sudah tengah malam, sang gadis kembali menyusuri ruangan di lantai atas. Ia menemukan sebuah buku tergeletak di atas lantai. Mengambil buku itu dan saat berdiri, tepat di hadapannya ada seorang laki-laki. Laki-laki itu mendekat dan membisikkan kalimat dalam bahasa yang tak dimengertinya. Namun, anehnya ia seolah paham dengan perkataan itu. Gadis itu mengangguk. Mengambil satu buku lagi di rak yang bertulis album kenangan. Gadis itu keluar dan kembali ke kamarnya. Ia tahu bahwa laki-laki yang baru ditemuinya adalah wujud dewasa dari bocah laki-laki di mimpinya.

Ia membaca buku yang tergeletak di lantai, yang tak lain sebagai penerjemah untuk buku di dalam kotak. Ia menyatukan satu per satu kalimat yang ada di dalamnya dan tepat pada lembar ke-5 buku bersampul coklat itu, sebuah foto terjatuh. Wajah gadis berkepang dua bernama Lyana yang ia temui di mimpinya terlihat dalam foto itu. Benar saja, halaman itu adalah halaman dimana Lyana menulis keinginannya. Gadis itu mulai menerjemahkan apa yang Lyana tulis.

Biarkan aku layu layaknya mawar terbawa angin bersama kenangan dan hilang terlupa’

Tangan gadis itu bergetar cepat, ia seolah merasa bagian dari dirinya yang hilang mencoba menerobos kembali. Tangannya menyahut buku album kenangan di sebelahnya. Membalik halaman per halaman dengan cepat. Potongan-potongan puzzle seolah tersusun di kepalanya. Ia merasakan sakit luar biasa. Tapi, tangannya terus membuka halaman per halaman dan matanya terus mengamati setiap foto dengan detail. Perempuan yang tak lain adalah ibunya menghampiri gadis itu, terduduk lemas di sampingnya dan memohon agar gadis itu berhenti menyakiti dirinya. Namun, gadis itu terus membuka tak menghiraukan. Pada halaman terakhir buku album kenangan, ia melihat foto dirinya yang telah dewasa bersama orang-orang yang tak ia kenal. Bersama habisnya isi buku album kenangan itu, ia terjatuh dalam kegelapan.

***

Seorang gadis yang biasanya tenang-tenang saja, tiba-tiba menjerit dengan keras dan memberontak serta melukai dirinya sendiri. Para perawat yang menjaganya sangat kesusahan. Berapa banyak obat bius yang disuntikkan tak ada yang memberikan efek yang cukup. Gadis itu terus berteriak dengan memukul-mukul kepalanya. Salah satu perawat telah bergegas memanggil dokter yang bertanggung jawab. Perawat lainnya sibuk memegangi tubuh sang gadis agar tak melukai dirinya lebih jauh.

Dokter tiba dengan terburu-buru karena pasiennya ini menderita maladaptive daydreaming akut yang disertai delusi parah. Sudah beberapa kali ia melakukan terapi terhadap sang gadis agar dapat mengurangi delusinya dan dapat segera dinyatakan sembuh meski dalam pengawasan karena harus tetap mengonsumsi obat. Namun, terapi-terapi yang dijalankan malah memberinya bahan untuk lebih jauh mengeksplor dunianya sendiri. Dokter memang tak lepas tangan akan hal tersebut. Tetapi, kondisi pasien sudah sangat jauh. Ia terus menciptakan dunianya sendiri dan mengembangkannya. Bahkan dokter pun telah mencoba memasukkan karakter sang ibu yang sangat ia inginkan bertemu.

Dengan terpaksa sang dokter harus menyuntikkan magnesium pada sang gadis dengan dosis yang benar-benar harus diperhitungkan agar tak terjadi kesalahan. Penyuntikan magnesium itu bertujuan untuk membuat sang gadis berada dalam fase koma sementara. Dan yah – selang beberapa saat setelah penyuntikan magnesium itu, sang gadis tertidur tenang. Dengan ini, dokter kembali melakukan terapi pada gadis itu dengan keadaanya yang koma. Ia berharap gadis itu dapat segera mengatasi rasa traumanya dan menyelesaikan permainan dalam dunia yang ia ciptakan secepat mungkin.

10 komentar

  1. Wowwww....
    Keren banget kak cerpennya 🔥🔥
  2. Woww keren banget kk💘, semangat terus yh💪💪
  3. KERENN!! 😻😻
  4. Bagus banget kak. Terus berkarya yaa
    Semangatt
  5. Waaahh baguuss cerpennya 🔥
    Semangat bekarya terus yang ❤️
  6. Wahh bagus bangett kak Cerpennya🤩🤩❤. Semangat terus ya kak untuk berkarya🤩💪
  7. Waahh bagus banget ceritanya kak 🤩.Semangat teruuss ya kak untuk berkarya 💪
  8. Plot ceritanya ngga terduga sih, pembawaannya keren
  9. Keren sih ceritanya
  10. ceritanya keren banget, semangat berkarya kak :)
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.